Part 8

43.9K 1.1K 165
                                    

Saat ini aku tahu bagaimana rasanya menjadi Fadli, tahu bagaimana rasanya diabaikan oleh sahabat sendiri. Itulah yang Tuhan tunjukkan kepadaku, membuka kedua mata hatiku melalui perlakuan Rian. Dia terlihat menghindariku sejak kejadian undangan pagi itu.

Aku terdiam membisu mendengar kalimat Rian. Aku sama sekali tidak berpikir kalau dia akan mengatakan hal gila ini.

Rian memandangku sendu. "Sudahlah! Mungkin aku memang tidak pantas untuk senior sepertimu, aku hanyalah bocah yang tidak bisa dibanggakan!"

Mataku menatap nanar kepada Rian yang berjalan meninggalkanku, meninggalkan undangan pernikahanku begitu saja di meja kerja. Setelahnya, yang kutahu Pak Albert mengabarkan kalau Rian minta izin untuk pulang lebih awal, atau lebih tepatnya membolos untuk beberapa hari ke depan karena urusan keluarga. Bahkan aku tidak tahu kapan dia membereskan peralatan kerja yang tadi sempat tertinggal. Aku berani bertaruh kalau dia berniat menghindariku.

"Bilaaaa!" sebuah sentuhan di bahuku membawaku kembali dari dunia khayalan.

"Ya," jawabku kepada Asti, sahabatku dari divisi Marketing.

Dia memandang seluruh isi ruanganku. "Mentang-mentang mau nikah bengong mulu kayanya. Oh iya, Rian kemana sih, nggak pernah kelihatan?"

"Mana gue tahu, Ti. Lo tanya sendiri aja sana sama orangnya."

Aku memilih jawaban yang tidak mengambil risiko, berharap Asti tidak menyadari kalau aku merasa aneh saat dia menanyakan Rian kepadaku. Bukan aneh, tetapi lebih tepatnya aku tidak ingin Asti menyadari kalau hubunganku dengan Rian sedang tidak baik. Aku berjanji setelah ini akan memperbaiki hubunganku dengan Fadli. Rasanya diacuhkan oleh teman sungguh tidak menyenangkan. Urusan Rian, kurasa dia juga akan sadar, sama sepertiku.

**

"Bunda, kenapa baju hijaunya tidak ada?" tanyaku kepada Bunda saat kami melakukan cek pakaian ganti untuk yang terakhir. Aku masih ingat dengan jelas kalau tiga hari yang lalu masih sempat mencobanya bersama Kak Daffa. Aneh.

"Warna hijau, ya? Kamu tanya aja sama Daffa, ya," jawab Bunda sambil mengangkat bahu.

Aku memutar bola mata tidak mengerti, apa hubungan antara baju tidak ada dengan Kak Daffa, sementara yang mengurus semuanya adalah Bunda. "Ishhh, kenapa tanyanya harus ke om-om itu, sih?"

Aku menghempaskan badanku ke ranjang dengan malas. Perasaanku mengatakan kalau ada yang tidak beres, pasti manusia setengah tua itu kembali berbuat ulah. Tidak mungkin baju bisa hilang begitu saja kalau dia tidak melakukan apa pun. See, bahkan di saat pernikahan hanya tinggal menghitung jam dia kembali membuatku kesal. Fuhh, apa kabar nasibku ke depannya? Ck.

"Om-Om itu calon suamimu loh, Kak! Tidak sopan manggil begitu, mulai belajar panggil Kakak, atau kalau perlu panggil Mas!"

Tawaku lepas mendengar penuturan dari Bunda, membayangkan aku memanggil Mas kepada Kak Daffa? Astaga, dia bahkan jauh lebih pantas dipanggil Om daripada Mas.

"Bunda aja manggil Ayah tanpa embel-embel, kenapa Bila harus?" protesku mengingat Bunda sering memanggil Ayah dengan namanya jika tidak ada kami. Itu adalah yang kudengar saat mereka sedang berdua atau Bunda kelepasan berbicara.

"Siapa yang bilang? Bunda selalu manggil Ayah."

"Iya kalau ada kami, coba kalau tidak ada Bila, Didi, sama Rangga, memangnya Bunda manggil Ayah?"

Bunda mengacak rambutku pelan. "Itu karena panggilan nama juga sudah termasuk panggilan kesayangan."

Ngeles.

BilaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ