Extra Part --- Daffa 2 (re-post)

32.7K 987 14
                                    

Aku menatap ponsel dengan lelah, panggilan dari Edo, Staff ITku sukses membuat semua rencana berantakan. Edo mengatakan kalau masalah jaringan di kantor kembali bermasalah. Aku sangat tahu bagaimana fatalnya jika server sampai down meskipun hanya satu hari dan saat ini sudah dua hari. Itu berarti sudah dalam taraf darurat.

Aku menatap Bila yang tengah bercermin menyisir rambut, mau tidak mau aku harus berbicara dengannya.

...

"Kak Daffa gila! Kita baru nikah beberapa jam yang lalu dan besok pagi harus berangkat ke Bandung? Jangan gila! Aturan di mana-mana habis nikah pergi liburan, ke Bali kek, Lombok, atau Raja Ampat gitu dan ini aku cuma minta ke puncak menikmati pemandangan, tetapi harus dibatalkan. Pokoknya nggak mau tahu, Kak Daffa sana yang bilang sama semuanya kalau mau pulang ke Bandung dan nggak ada acara menginap di puncak."

Aku sudah menduga sebelumnya kalau Bila pasti akan protes atas keputusanku untuk pulang ke Bandung dan membatalkan rencana yang sudah kami susun, yaitu ke puncak.

"Aku sudah bicara tadi kepada mereka dan mereka tidak masalah," ujarku mencoba memberikan pengertian kepada Bila.

"Itu karena bukan mereka yang menjalani. Ayolah, Kak! Bukannya kemarin udah dapat cuti satu minggu? Kakak sendiri kan yang bilang, terus juga Kakak udah setuju buat ke sana? Sekarang seenaknya aja batalin."

"Ini masalah tanggung jawab, Bila! Aku janji setelah masalah selesai kita ke puncak."

"Basi!"

"Lalu, maumu bagaimana?" tanyaku frustrasi. Aku beranjak untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya. Saat ini aku hanya bisa berharap semoga saja Bila mau mengerti sedikit saja.

"Nggak usah pulang ke Bandung!" Bila menjawab sinis.

"Kalau sampai dipecat nanti kita makan apa?" tanyaku tidak mau kalah.

"Justru itu bagus. Kalau dipecat Kak Daffa bisa cari kerja di Jogja jadi kita nggak perlu melanjutkan perdebatan antara hidup di Bandung atau di Jogja. Kalau perlu nanti aku bilang sama Ayah buat masukin Kakak ke kantor."

Anak manja!

"Jangan konyol, aku tidak mau memanfaatkan garis keluarga. Lalu, urusan hidup di mana bukankah sudah sepakat kemarin sementara kita berhubungan jarak jauh sambil menunggu kamu resign."

Aku melihat Bila yang terdiam, seperti memikirkan kata-kata yang baru saja aku ucapkan. Semoga Tuhan, semoga dia mau mengerti dan mengalah untuk kali ini.

"Tapi, nanti aku mau tetap kerja, nggak mau duduk doang di rumah," ujar Bila terlihat pasrah, tetapi tetap menawar.

Aku menghela napas panjang, minimal saat ini aku harus menuruti keinginan Bila agar dia tidak berulah. "Iya."

"Terus selama kita tinggal jarak jauh, Kak Daffa harus pulang tiap minggu biar para orangtua tidak protes."

"Iya."

"Jangan lupa Kakak yang mau bilang pada mereka untuk masalah ini. Aku nggak mau tahu pokoknya."

"Iya."

"Jadi, deal, kan? Besok kita jalan ke Bandung?" tanyaku memotong permintaan konyol dari Bila. Dia tidak henti-hentinya melakukan penawaran atas dasar ganti rugi acara ke Puncak yang gagal.

"Terpaksa."

Bila akhirnya menyerah dan langsung bangkit berdiri menuju ranjang sementara aku mengikutinya dan mengambil posisi tidur di sampingnya. Aku melirik Bila yang sudah menarik selimut sampai dada dan kemudian tidur memunggungiku. Anak ini, bisa-bisanya dia tidur membelakangi suaminya. Walaupun kami menikah karena terpaksa, tetapi tidak seharusnya dia berkelakuan seperti sekarang.

BilaWhere stories live. Discover now