Empat; Mimpi yang Terlupa

Mulai dari awal
                                    

Ada suara retakan keras yang begitu menyiksa dari dalam diri Tera. Lalu nyaring heels Mama seperti menampar kesadarannya.

"Mama ada rapat. Jangan buat masalah lagi."

Tera hanya bisa mengekor sembari menganggukkan kepala. Mamanya tidak pernah membutuhkan saran, apalagi bantahan.

"Oh iya, nanti pulang sekolah kamu harus susulan nilai olahraga. Nilai kamu harus sempurna."

"Kenapa, sih? Mama mau aku dapat beasiswa apa gimana?" Gadis itu mendecih pelan.

Tak disangka, kalimatnya membuat Mama berhenti. Beliau menatap Tera sinis dan menaikkan ujung bibirnya.

"Kamu nggak butuh itu, Tera. Kamu nggak serendah mereka."

Ada yang aneh. Kalimat Mama membuat Tera terluka. Rendah katanya?

"Kenapa? Bukannya anak beasiswa harusnya bisa dibanggain? Mereka pintar."

Perlawanan Tera membuat Mama tertawa. Seolah kalimat gadis itu adalah lelucon paling lucu untuknya.

Mama memutar bola mata, terlihat enggan menjawab. Tangannya merogoh tas, mencari kunci mobil karena mereka sudah mulai memasuki area parkiran.

"Kamu nggak lihat gaya hidup kamu? Bisa bayangin orang yang sampai nyari beasiswa itu gimana keuangannya? Di sini, mereka bukan siapa-siapa, Tera. Beasiswa itu cuma bumerang, alasan paling sederhana untuk ngeluarin mereka tanpa banyak omong."

Marah. Kalimat Mama barusan membuat sesuatu di dada Tera mendidih.

"Kenapa muka kamu jadi aneh gitu? Kamu punya temen anak beasiswa?"

"Apa itu penting?"

Suara heels milik Mama tak lagi terdengar. Mereka berhenti di sisi mobil hitam yang terparkir teduh.

"Jangan dekat-dekat mereka."

"Kenapa?"

Mama membuka pintu mobil, menempatkan diri di kursi kemudi. Meraih kaca mata hitam yang tadi menggantung di kerah kemejanya dan kini ia siap pergi.

"Di sini prestasi bisa dibeli. Anak-anak pintar dengan keuangan mapan pun banyak. Jadi, buat apa? Mereka cuma properti yang bisa diganti kapan aja."

Mama menutup pintu mobil dan deru mesin terdengar setelahnya. Sedang Tera masih berdiri di tempatnya. Pikirannya berjalan liar. Seharusnya ia tidak terkejut dengan ular yang hidup di sekelilingnya.

Lamunan Tera buyar oleh satu panggilan di ponselnya. Panggilan sederhana yang mampu menerbitkan senyum di wajahnya.

***

"Semangat, ya."

Satu pesan itu mampu membuat senyum Tera mengembang lama. Bahkan saat ia berdiri di bawah terik matahari dengan baju olahraga yang melekat di badannya. Matanya melirik jam yang melingkar di tangan, lalu menyipit ke arah matahari yang masih tinggi.

Kaki gadis itu menuntunnya menuju ujung lapangan di mana Pak Anton menyambutnya dengan kumis tebal yang membuat senyumnya tidak kelihatan. Tera harus mengambil nilai lari sepuluh putaran lagi dan meski itu menyebalkan, satu pesan tadi berhasil membuat Tera tak keberatan.

Forget MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang