26. Untuk Hati yang Jatuh Lagi

Start from the beginning
                                    

"Paham nggak sampai sini?" tanyanya dengan mimik wajah serius.

Gue mengangguk. "Ya udah terus tanggung itu satu nomor lagi. Lo yang kerjain, deh. Otak gue udah ngebul."

"Okey, lagi gue kerjain." 

Lha, lha, lha. Tumben, kan? Ya ampun, lucu banget sih adik gue yang mulai gede itu. Eh, emang dia udah gede, sih. 

Dulu rambutnya tipis, giginya ompong, dan jarang banget ngomong. Sekarang tumbuh jadi pria dewasa, yang matang secara fisik. Rambutnya mengikuti ayah, agak ikal, dan sedikit panjang. Dia baru cukur, kayaknya. Mukanya mulus gitu. Tatapannya tajam--dan dingin. Dia terlahir dengan tinggi badan yang sangat ideal. Tinggi banget malah. Kalau gue hang out berdua bareng dia, orang lain menyangka kami pacaran.  

"Nih udah selesai. Cek lagi." 

Satu file dikirimnya ke WA. Gue membuka file tersebut, mengeceknya lagi, lalu melempar hasil kerjaan gue ke grup kelas mata kuliah. 

"Lo lagi free?" tanya gue.

Di layar, Koko mengangguk. "Gue udah nyelesain tugas besar. Kayaknya UAS minggu depan."

Gue memerhatikan penampilannya, "Muka lo capek banget? Lo kurang tidur?"

"Nggak ada mahasiswa yang cukup tidur kalau udah masuk kampus gue." 

"Istirahat, gih. Kalau Bunda tahu, dia pasti ngomel." 

"Makanya gue lebih pilih kuliah di luar kota, biar bisa ngekost, biar nggak denger ocehannya Bunda."

"Anak kurang ajar."

"Lo bentar lagi magang, kan? Udah tahu mau di perusahaan mana?"

Gue menggeleng. "Di mana, yak?" 

"Di mana aja. Keahlian lo cuma bisa fotokopi sama nyeduh kopi, kan? Banyak itu, mah." 

Ugh! Baru aja tadi gue muji-muji dia, sekarang rasanya pengin gue cubit ginjalnya. 

******

Gue pikir UAS matkul Basis Data Lanjutan bisa gue lalui dengan cukup baik. Ternyata, enggak. Baru di soal pertama aja gue udah bingung mau ngisi apa. Satu jam berlalu tanpa progres yang menjanjikan. Sisa tiga puluh menit lagi. 

Nengok ke kanan, Nanang malah terlelap nikmat, lembar jawabannya hanya terisi di beberapa nomor. Gue mengeluh dalam hati. 

Begitu waktu habis, gue dan Nanang mengumpulkan paling terakhir, keluar kelas paling terakhir. 

Gue terlonjak kaget melihat cowok berjaket denim berdiri menyender dinding tepat di samping pintu kelas. 

"Ngapain lo?" tanya gue setengah sewot. 

"Mau jemput lo." Setitik lengkungan senyum menghiasi wajahnya. "Nggak bawa motor, kan? Yuk." Dia mengulurkan tangan. 

Gue menatapnya ragu-ragu. Nanang mendorong bahu gue. "Udah, iyain aja. Gue duluan, ya," pamitnya.

Lagi-lagi perdebatan di dalam diri gue terjadi. Rasanya sangat ingin menolak, tetapi sebagian yang lain mengiyakan. 

"Gue minta maaf atas kejadian waktu itu. Nggak akan gue ulangin." ujarnya lembut namun sarat penyesalan.

Sebelum meminta persetujuan otak, hati gue memerintahkan kepala untuk mengangguk. 

 ****** 

"Kita mau ke mana?" Gue setengah berteriak. 

Bima nggak jawab. Tangannya menarik lengan gue agar melingkar di perutnya. Seperti yang biasa ia lakukan. 

Motor berhenti di sebuah rumah lantai tiga yang bergaya klasik, khas Jawa. Pintunya dari kayu jati, cokelat mengkilap. Banyak ukiran-ukiran kembang di dinding dan pajangan patung yang nggak gue paham namanya. Gue membuntuti Bima. Seorang wanita--asisten rumah tangga--berbadan gempal menyambut kami. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now