22. Kedatangan Tamu

Mulai dari awal
                                    

"Ibu yakin minta bantuan dia? Bima aja ragu dia pernah masak air," sahut Bima yang baru aja turun dari kamarnya. Rambutnya sedikit berangtakan, kaung oblongnya agak lecek, dan dia... muka bantal.

Gue yang tengah mengaduk adonan pakai mixer, mendengus sebal. Tahan, Mi. Tahan. Jangan sampai mulutnya Bima lo aduk pakai mixer. 

"Kamu aja yang nggak tahu dia, buktinya dari tadi kerjaannya rapi, kok." Ibu membela gue. 

Gue menjelir arahnya. Syukurin, kalau ada gue, kayaknya Ibu lebih sayang gue daripada Bima. Hehehe. 

"Kerja yang bener, yap." Dia mengacak rambut gue lantas memberikan kecupan singkat di puncak kepala. "Gue mau bikin PPT buat sidang dulu." Dia berlalu setelah menambah satu cubitan di pipi gue. 

Aduh, gue malu banget! Kalau Ibu lihat gimana?! Pipi gue sampai panas, kalau ngaca pasti mirip kepiting rebus, nih. 

Sekonyong-konyong dia main pergi gitu aja, balik ke kamarnya tanpa peduli spontanitasnya bikin jantung gue nyaris copot. Gue melirik ke arah Ibu dan Yura yang lagi sibuk menyiapkan oven. Huft, semoga mereka nggak lihat. 

"Tuang ke sini." Ibu memberikan loyang kotak. 

Mixer berhenti berputar, gue tuang adonan kental berwarna hijau ke loyang. Diketuk-ketuk dikit biar rata. Untung banget gue suka acara kompetisi masak yang disiarkan di televisi itu, lho. Jadi, biarpun gue jarang menyentuh dapur, gue pahamlah dikit-dikit. Biar nggak malu banget di depan Ibu. 

"Masukin ke oven. Ini biar Ibu beresin, kamu bantuin Yura aja," kata Ibu mengambil alih meja tempat gue 'kerja'. 

"Kak, ini mau aku taruh oven." Gue menghampiri Yura. 

Perempuan itu mengangguk, menekan tombol oven, mengatur suhu dan waktu. Setelah adonan masuk, gue bantuin Yura mencetak adonan lain ke dalam cetakan kembang yang lebih kecil. 

"Yang ini pie, Kak?" tanya Gue dengan tangan yang bergerak kaku. 

Ya iya lah, kalau di rumah, ini tugasnya Alka dan Bunda. Gue, Koko dan Ayah tim makan doang.  

"Betul. Oh ya, ngomong-ngomong, sejak kapan lo jadian sama adik gue?" 

Gue tersedak ludah gue sendiri. 

Hah? Jadian? 

Ya ampun! Bahkan setelah dia nyium gue, dia nggak bilang apapun. Sekarang ini gue sedang menjalani peran gue, sampai waktu perjanjian kita selesai.

"Sa--satu bulan lalu..." jawab gue menggantung. Maaf, Yura, gue bohong.

"Oh, syukurdeh." 

"Emang kenapa, Kak?"

"Nggak apa-apa, gue cuma bersyukur akhirnya dia bisa nemuin lo." Yura mengulas senyum samar di akhir kalimat. "Gue kira dia nggak akan nyari cewek selain..." Perkataan Yura menggantung di udara. 

"Selain?" Alis gue menyatu. 

"Ah, enggak, lupain. Sabar-sabar ngadepin adik gue, ya." Kali ini intonasinya berubah santai. 

Gue mengangguk, nggak paham. Namun, gue memilih diam menyimpan informasi itu sendiri. Ada banyak hal yang muncul dari perkataan Yura, hanya saja, gue memilih boda amat. 

Toh, gue sama dia juga nggak benar-benar menjalani ini. Sesuai perjanjian, dia variabel x, gue variabel y. 

*****

Bika ambon, bolu pandan, dan pie susu telah matang dengan sempurna. 

Lagi-lagi gue bersyukur. Hari ini, tangan gue bisa diajak kerja sama, biasanya kalau gue bantuin Bunda di dapur, ada aja barang yang gue pecahin, tumpahin, jadinya nyusahin. 

ARMY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang