"Emang ada sekolah yang enggak angker?"

Keduanya terkekeh dan kemudian memelankan langkah, mencoba menyamakan ritme lari mereka. Tinggal dua putaran lagi untuk Tera dan ia tak mau mengulang dari awal hanya karena pingsan.

"Atau ... lo kepikiran Arta?"

Langkah Tera kian melambat dan gadis bermata bulat itu kini mendapat seluruh perhatian Tera. "Arta siapa?"

"Lo nggak tau?" Rea bahkan berhenti dan menahan Tera hanya untuk meyakinkan diri bahwa telinganya tidak salah dengar.

Tera menepis tangan Rea pelan. Ia membungkuk dengan tangan memegang lutut. Mengambil banyak-banyak udara yang mulai menipis di paru-paru setelah delapan putaran lapangan. "Dia bukan jawaban soal Matematika yang harus gue tahu dan ... berhenti liatin gue kayak gitu, Rea!"

Tera sudah kembali berlari saat Rea justru menertawakannya.

"Gue heran. Kemana aja, sih, lo? Arta itu si juara umum tahun kemarin. Dia anak mading yang juga aktif di club sepak bola kita. Yang dihukum sama lo kemarin."

Oh ... anak itu namanya Arta.

Tiba-tiba saja wajah cowok itu muncul. Mata marahnya, suara kasarnya, juga bagaimana semua itu berubah menjadi lembut. Nada rendah cowok itu masih Tera ingat dengan jelas. Wajah merah juga senyum hangatnya.

"Dia anak beasiswa."

Tera mengerjap. "Beasiswa, ya."

Anggukan Rea seperti bendera merah bagi Tera. Selanjutnya ayunan langkah mereka diisi dengan sepi. Rea sepertinya sibuk mengatur napas, sedang Tera sibuk dengan pertanyaan di kepala tentang Arta, si anak beasiswa yang bertemu dengannya.

Pertemuan pertama yang tidak biasa. Tangis, lebam, juga cutter merah yang sampai sekarang masih Tera bawa.

Seandainya mereka bertemu di keadaan yang lebih rasional.

"Lo ... besok jangan lupa topi." Napas Rea mulai tersengal.

"Buat apa?"

Rea membulatkan mata dan seketika jitakan mendarat di kepala Tera. "Ulang tahun yayasan ... bego! Gue bahkan udah capek mau ngumpat!"

Astaga! Tera jadi ingat sesuatu.

Gadis itu berdecak sebelum akhirnya memutar langkahnya. Ia masih bisa mendengar Rea berteriak, tapi ada hal yang lebih penting dari itu. Tera harus mengembalikan sesuatu.

***

Lorong-lorong dengan loker di kanan kiri itu terlalu sunyi, hingga langkah kaki Tera terdengar begitu nyaring di sana. Dentuman ringan terdengar begitu ia membuka lokernya, meraih dua benda yang bukan miliknya.

Besok upacara dan topi Arta masih ia bawa.

Tera mendengkus kasar. Ia tidak mau menjadi penyebab kesialan orang.

Dengan tergesa Tera menutup lokernya dan kembali berlari. Buru-buru sekali, hingga ia lupa, ia bahkan tidak tahu Arta kelas apa dan begitu sadar, Tera berhenti.

Forget MeWhere stories live. Discover now