Dua; Hidupku Berharga?

Start from the beginning
                                    

"Tunggu apa lagi!"

Tera mendengkus dan menghentakkan kaki sebelum akhirnya berjalan ke tengah lapangan. Ia berdiri di depan tiang bendera dengan posisi hormat yang sempurna.

Tuhan sepertinya ingin menambah hukuman Tera dengan membuat matahari bertengger tinggi dan cerah sekali. Belum-belum Tera sudah pegal, rasanya enak kalau ada yang tiba-tiba ngasih es durian.

Di tengah lamunan Tera, rupanya Pak Soni sudah mendapat mangsa baru dan ini kesempatan Tera untuk menurunkan tangannya.

"Heh! Sini kamu!" Suara Pak Soni terdengar begitu nyaring. "Kamu nggak lihat ini jam berapa? Upacara sudah selesai dan kamu baru datang? Kamu pikir ini sekolah punya Bapak kamu?"

Diam-diam Tera menoleh ke belakang, mengamati Pak Soni yang sedang menggeledah siswa yang masih menenteng tas dengan hoodie kelabu di tangannya.

Atributnya lengkap. Sial saja cowok itu harus terlambat.

Tak ada perlawanan yang berarti dari cowok itu. Tidak seru. Bahkan cowok itu hanya sibuk menggenggam pergelangan tangannya yang tertutup handband hitam saat menerima pukulan dari penggaris kayu Pak Soni. Coba sedikit dilawan, pasti Tera tersipu melihatnya.

"Berdiri di sana, hormat bendera sampai jam istirahat!"

Buru-buru Tera kembali ke posisinya, menghapus jejak kecurangan yang baru saja ia lakukan. Samar langkah cowok tadi mulai terdengar, sampai akhirnya dia berdiri di sisi Tera.

Wah, cowok ini ternyata lumayan tinggi. Terlihat dari bagaimana dia bisa menghalau matahari untuk Tera. Beruntungnya Tera.

"Lo telat?"

Tera mengernyit dan mendongak. Terik matahari membuat wajah  cowok itu serupa siluet. Namun Tera yakin, suara itu terdengar tidak asing.

"Lo ngajak ngomong gue?"

"Siapa lagi emang yang ada di sini?"

Ketus banget, sih. Tera mendengkus, memilih menatap bendera walau matanya jadi perih.

"Gue nggak telat, cuma nggak bawa topi."

Panas sekali, kayaknya lemak-lemak Tera auto kebakar, deh, saking teriknya matahari. Mengusap peluh di pelipisnya, gadis itu menghela napas lagi.

"Lo berdiri di sini udah lama?"

Suara cowok itu sudah tidak Tera pedulikan.

"Udah lama?"

"Hah?" Tera mendongak dan seketika menyipit karena cahaya matahari.

"Lo berdiri di sini udah lama?"

Gadis itu menggeleng tanpa repot-repot menatap cowok itu. Rasanya tenaga Tera sudah terkuras habis pagi ini.

"Bagus, deh."

Mendengar jawaban itu, Tera mengernyit. Ia mendongak dan mendapati cowok itu masih menatap bendera. Awan yang menutup matahari membuat wajah cowok itu terlihat lebih jelas sekarang. Garis rahang yang tegas, juga bulu mata yang panjang. Tera iri melihatnya.

"Apanya?" tanya Tera.

"Bagus lo masih hidup."

Kening gadis itu berkerut. "Maksud lo?"

Tera masih terpaku saat cowok itu melepas topi dan tanpa permisi menyematkannya di kepala Tera. Detik membuat mata mereka berjumpa dan entah kenapa senyum cowok itu membuat Tera membisu.

"Jangan mati, Tera. Hidup lo berharga."

Cowok itu kemudian memalingkan muka, bibirnya masih menggumamkan suara yang tak mampu Tera tangkap.

"Astaga," desis Tera sambil berusaha menyembunyikan wajahnya.

Pantas saja suara itu terdengar tak asing. Salahkan saja senyum manis yang berbanding terbalik dengan amarahnya malam itu. Maka gadis itu menunduk semakin dalam, mengabaikan fakta bahwa cowok itu mengenalnya. Tera terlalu malu.

Karena jika tidak salah ingat, cowok ini adalah saksi dari kebodohan seorang Khatera Gassani.

***

Perkenalkan, gadis berambut sebahu itu Khatera Gassani

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Perkenalkan, gadis berambut sebahu itu Khatera Gassani ... namanya berarti memori. Hanya saja memori bisa jadi senjata yang membuat seseorang bahagia atau justru menyakiti pemiliknya.

🤍

Repost, 23 April 2021

Forget MeWhere stories live. Discover now