"Aku? Kau buta huruf? Jelas-jelas namaku tertulis di sini!" Tunjuk si murid ke nama di seragamnya.

"Gunawan?"

"Ya! Panggil saja Wawan!"

Para perundung tertawa, tak merasa takut hanya karena bertambah satu lagi junior mereka.

"Kau mau bergabung dengannya?" Anggara menunjuk ke arah Retno.

Wawan menggeleng. "Tapi mungkin Pak Ricko mau bergabung dengan kalian!"

Mata para perundung membelalak mendengar nama guru BK di sekolah itu disebut. "Kau bersama Pak Ricko? Di mana dia?"

"Sedang dalam perjalanan," ucap Wawan santai.

"Sialan! Ayo kita pergi!" ajak Anggara kepada temannya, tak ingin berurusan lagi dengan guru BK tersebut. "Tapi ingat! Kau tak akan kulepaskan!""

Mereka berlalu meninggalkan Retno dan Wawan di dalam gudang.

"Pak Ricko benaran mau ke sini?"

Wawan tertawa. "Tentu saja ... tidak! Aku hanya menakut-nakuti mereka."

"Terima kasih," ucap Retno saat Wawan membantunya berdiri. "Dari mana kau tahu aku di sini?"

"Kau itu orang paling rajin di kelas, aneh saja jika belum kembali ke kelas ketika bel masuk berbunyi, jadi kuputuskan untuk mencarimu, sampai kudengar suara riuh saat melintas gudang."

Retno mengangguk. "Lantas kenapa kau menyelamatkanku?"

Wawan tertawa, dia tahu Retno tertutup dan agak aneh, tetapi tak tahu seaneh ini. "Kita teman satu kelas, kan?"

"I-i-iya, benar, tapi itu saja?"

"Ya, itu saja!"

"Kau tak takut dianggap temanku karena telah membantu?"

Lagi, keanehan Retno membuat Wawan tertawa. "Memangnya ada yang salah jika aku berteman denganmu?"

"Aku culun dan aneh," ucap Retno memberitahukan julukannya di sekolah ini.

"Dan aku tak peduli! Mari berteman!" Wawan mengulurkan tangannya ke arah Retno sambil tersenyum.

Dengan wajah yang bonyok dan penuh darah, Retno ikut tersenyum, lantas menyambut jabat tangan Wawan. Sejak saat itulah persahabatan mereka terbentuk, persahabatan yang kuat hingga mereka beranjak dewasa, bahkan tak terputus meski nyawa salah satu dari mereka putus.

Di mana ada Retno, di situ ada Wawan, pun sebaliknya, tak jarang mereka diolok-olok, tetapi mereka masa bodoh, karena mereka tahu yang mengolok-olok tak lebih dari orang bodoh yang iri dengan persahabatan mereka yang sudah seperti saudara kandung.

"Akhirnya kau datang, Retno," ucap Wawan, saat menyadari kehadiran sahabatnua itu.

Dia sedang duduk menatap laut di pagi hari, di warung tempat mereka bertanya tuk pertama kali, tempat mereka bertemu arwah neneknya Santi.

"Maaf tak bisa membantu di saat-saat terakhir, karena kehadiranmu di sini, pertanda masalah telah berakhir, kan?" lanjutnya lagi.

Retno mengangguk.

"Kembalilah ... kembalilah untuk hidup di dalam tubuhku," ucap Retno langsung ke inti permasalahan.

Wawan menoleh, sama seperti Santi dan arwah lainnya, wujud mereka masih sama, tetapi kulitnya pucat pasi.

"Aku sudah mati!" seru Wawan dengan suara bergetar. "Apa bedanya ... aku hidup di tubuhmu atau memilih begini? Aku tetap saja sudah mati!"

Selama bersahabat dengan Wawan, baru kali ini dia menangkap kesedihan yang mendalam dari tatapan dan ucapan sahabatnya itu, membuat Retno kesulitan merangkai kata, tetapi dia tak mau menyerah.

"Aku paham yang kau rasa. Aku paham yang kau pikir. Aku pun akan merasakan hal yang sama jika di posisimu, tetapi ... tak inginkah kau menemani dan menjaga kedua orangtuamu hingga mereka tua nanti?"

Wawan tertawa. "AKU INGIN! AKU MAU! TETAPI BAGAIMANA AKU MENJALANI HARI SEBAGAI DIRIMU? BAGAIMANA AKU BISA MELIHAT KESEDIHAN ... MEREKA SETIAP WAKTU? KESEDIHAN ORANGTUAKU!"

Retno tersentak, sudah lama Wawan tak meneriakinya saat bicara empat mata.

"Aku ingin ... aku mau ... tetapi bagaimana caranya ...?" ucap Wawan melunak kini.

Lama Retno termenung, dia tak bisa dengan egoisnya memaksa Wawan untuk mengikuti rencananya begitu saja, tetapi tetap saja itu satu-satunya solusi terbaik yang ada saat ini.

"Jika aku menemukan solusi terbaik untukmu, maukah kau hidup sebagai diriku?" tanya Retno setelah lama menimbang-nimbang.

Bersambung.

Tersisa dua bab lagi, dan Mati Suri kembali tamat. 😁

#BangEn

DESA SETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang