Santi?

31.1K 2.4K 170
                                    

Retno memutuskan untuk tetap maju, meski dia sudah mendengar cerita dari Bu Desi-ibunya Santi, terkait keadaan anaknya, juga tentang hal yang akan terjadi jika dia bertemu Santi secara langsung.

Retno kini berdiri di depan pintu kamar Santi, tinggal menekan gagang pintu ke bawah untuk membukanya.

"Kau datang hanya untuk mati!"

Retno terkejut, dia menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara tersebut, tetapi tak terlihat seorang pun di dekatnya.

Wawan dan Bu Desi menunggu di ruang tamu, sementara tak ada lagi orang di rumah selain Santi yang berada di dalam kamar.

Antara ruang tamu dan kamar Santi dipisah ruang keluarga yang cukup luas, sehingga suara yang tak terlalu nyaring dari depan tak akan mungkin terdengar sampai di tempat Retno berdiri.

"Siapa? Siapa yang berbicara? K-kaukah itu ... Santi?" tanya Retno tanpa mendapat jawaban.

Tangan Retno bergetar tiba-tiba, dia teringat ucapan Bu Desi sebelumnya.

"Mereka yang berkunjung ke sini untuk melihat keadaan Santi, keesokan harinya tak pernah kembali lagi, mata mereka pun menatap ngeri ke arah rumah ini setelahnya. Awalnya saya tak tahu alasannya, tapi akhirnya saya mengerti kenapa mereka seperti itu, mereka ... diteror oleh makhluk tak kasat mata setelah pulang melihat keadaan Santi di sini."

"Apa ini maksudnya?" gumam Retno.

Mereka bahkan belum masuk lebih jauh ke dalam permasalahannya, tetapi sudah mendapati hal-hal aneh secara beruntun dalam prosesnya.

Retno menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan pikiran untuk menyerah dan kembali. Dia tidak malu kepada siapa pun jika menyerah kali ini, hanya saja dia merasa gagal memenuhi ekspektasi ayahnya jika itu terjadi, dari segala hal, itulah yang paling tidak dia harapkan.

Retno menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, lantas tanpa membiarkan rasa ragu itu muncul kembali, dia sudah membuka pintu.

Bau bunga melati menyeruak ke rongga hidung Retno saat pintu terbuka, bau yang membuatnya terlena. Dia tak tahu dari mana asalnya, yang jelas berasal dari dalam kamar ini.

Terbantu oleh sinar matahari yang menelusuk masuk lewat jendela kamar, di hadapanya kini terlihat seorang perempuan tengah duduk di depan meja rias, sedang menatap pantulan dirinya di cermin, perempuan berambut hitam panjang, dengan kulit kuning langsat dan hidung mancung yang mempertegas wajah ayunya.

"S-Santi...?" tanya Retno tergagap. Dia masih membatu di ambang pintu, timbul sedikit rasa ragu untuk masuk ke dalam kamar.

Perempuan tersebut menoleh ke arah Retno dengan perlahan, menatap matanya dalam dan lama. Seulas senyum tercipta di bibirnya kemudian. "Ya, saya Santi. Masuklah, jangan takut!" pintanya dengan suara yang lembut dan merdu.

Bukan takut, bukan itu yang membuatnya ragu, hanya saja Retno tiba-tiba teringat perihal sopan-santun dan tabu, tak elok jika di dalam kamar hanya ada mereka berdua yang jelas-jelas lawan jenis. Lagi pula dia masih belum mampu untuk bergerak, apa yang dilihatnya, apa yang terhirup oleh hidungnya, membuat dia seakan kehilangan kemampuan inderanya yang lain.

"Masuklah, saya tak akan menggigit, kok," ucap Santi kembali dengan manja.

Kedua kaki Retno yang akhirnya bisa digerakkan, melangkah masuk ke dalam kamar, menyampingkan prinsip kesopanan yang selama ini dia pegang teguh. Sungguh luar biasa, bahkan Retno tak menyadarinya, dia seakan terhipnotis dan menurut begitu saja oleh ucapan Santi.

Retno duduk di kursi kayu yang berada tepat di samping Santi. Tatapan matanya masih tak lepas dari sosok perempuan tersebut. Namun, dia merasakan kehadiran sosok lain di dalam kamar, sosok yang berhasil membuatnya tak berkutik untuk sekadar menoleh, sosok samar yang pastinya bukan manusia.

DESA SETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang