Putra Kelana

21.3K 1.8K 127
                                    

Di sebuah ruang tamu, di rumah yang sederhana, tetapi begitu nyaman bagi penghuninya. Ada kebimbangan yang hadir di antara dua insan yang saling melengkapi dan menyayangi, dua insan 'berbeda' yang menyatu dalam satu kata, keluarga.

"Kamu, tetap pergi?"

Seorang wanita berparas ayu dengan bayi di gendongan, bertanya kepada suaminya dengan nada gelisah,

Suaminya tersenyum, dia memahami apa yang istrinya khawatirkan, tetapi apa pun yang terjadi dia harus berangkat.

"Cuma sebentar. Aku janji ini yang terakhir," ucapnya sambil mengelus pipi si bayi dengan lembut.

Wajah sendu terpampang jelas di wajah si istri, seperti punya firasat bahwa ini pertemuan terakhir mereka, dan air mata pun akhirnya menetes.

Si suami memegang wajah si istri, mengangkatnya hingga saling tatap. "Ini penting, demi masa depan anak kita," ucapnya.

"Memangnya jika kamu tak pergi, masa depan Retno tidak terjamin? Kamu bisa cari kerja lain selain menulis!" seru si istri dengan tangis tersedu-sedu.

"Kamu tidak mengerti, tidak akan pernah mengerti." Si suami melepas tangannya dari wajah si istri.

"Kalau begitu, cobalah buat aku mengerti!" Si istri menatap tajam suaminya—Putra Kelana.

Kelana menutup kedua matanya, menghela napas panjang, lantas membuka mata kembali, kini mereka saling tatap, tanpa berkata-kata, hanya isak tangis si istri yang terdengar.

Kelana menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan, memberi rasa hangat yang menentramkan. "Aku janji akan menceritakan semuanya begitu kita bertemu kembali!" Kelana mencium kening istrinya dengan lembut.

"Ehm ... udah nih dramanya?" tanya seorang pria dari teras rumah, lantas terkekeh.

Cepat-cepat mereka melepas pelukan, si istri lantas cepat menyeka air mata di pipinya.

"Fajar? Kamu ikut lagi?" tanya si istri kemudian.

Kelana tertawa mendengar pertanyaan istrinya.

"Kayaknya udah sering kamu bertanya seperti itu, Widuri," jawab pria bernama Fajar, teman Putra Kelana.

"I-iya, sih," jawab Widuri salah tingkah. "Mau dibuatkan kopi?"

"Bole ...."

"Gak usah!" potong Kelana. "Kami mau langsung pergi, lebih baik turun awal agar tidak kemalaman sampai di puncak Gunung Palung."

"Yah, padahal aku mau kopi buatannya, Kelana!" protes Fajar. Kelana menatap tajam sahabatnya itu. "O-oke! Mungkin nanti saat kita kembali, tolong buatkan kopinya lagi, ya, Widuri!"

Widuri tersenyum. "Baik, tetapi dengan satu syarat!" Kening Fajar dan Kelana mengerut dibuatnya. "Jaga suamiku baik-baik, seperti biasa," pintanya malu-malu, dengan wajah memerah.

Tawa pecah di ruang tamu yang semula terasa sendu, menghadirkan rasa lega di hati Kelana dan Widuri yang sesaat lagi akan berpisah ... untuk waktu yang cukup lama.

Untuk terakhir kali Kelana mencium Widuri, dan anaknya Retno sekali lagi, sebelum beranjak meninggalkan mereka.

"Cepatlah pulang, kami menunggu," ucap Widuri.

Kelana tersenyum, sebuah senyuman dengan banyak makna terpendam di baliknya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Fajar saat mereka sudah berada di kursi paling belakang dalam bus menuju kota Sukadana, tempat di mana Gunung Palung berada.

Kelana mendesah, tatapannya kosong ke arah depan. "Kau tahu aku sangat mencintai mereka, dan karena itulah aku mau tak mau harus pergi, demi masa depan yang lebih baik bagi mereka."

DESA SETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang