Kota Gaib : Padang 12

22.9K 1.9K 94
                                    

"Yang perlu kalian ingat adalah, jangan sampai benang kalian terputus! Jika sampai itu terjadi, salah satu di antara kalian yang masuk ke dalam Padang 12, tidak akan pernah kembali!"

Nek Sirih memperingatkan Retno dan Wawan, lantas memberikan sebuah benang jahit berwarna merah yang lebih tebal dibanding benang biasa.

Retno menerima benang tersebut diikuti tatapan penasaran Wawan.

"Apa cukup benang satu gulungan ini saja?" tanya Retno. Wawan mengangguk menyetujui ucapan sahabatnya itu.

"Jangan menilai sesuatu dari yang terlihat saja, coba dulu baru kau akan tau!"

Retno memasukkan gulungan benang ke dalam kocek celana jeans-nya.

"Sebaiknya kalian bergegas sekarang, karena racun itu punya waktu reaksi yang berbeda-beda pada setiap orang yang meminumnya." Nek Sirih mengambil sirih yang baru saja dibuatnya lagi di atas piring dan mengunyah. "Tergantung dari tingkat keimanan orang yang meminumnya, semakin beriman maka semakin lama hingga racun tersebut berhasil memutus seluruh tali jiwa, tapi jika imannya tipis, sekali teguk saja bisa langsung mati," tambahnya dengan mulut penuh sirih.

Mereka paham dengan apa yang Nek Sirih maksud, dan itu membuat mereka benar-benar harus bergegas, sebab keimanan seseorang sulit ditakar oleh manusia lainnya, tak ada yang tahu siapa lagi yang akan menjadi korban selanjutnya.

Retno bersimpuh dan mengulurkan tangan ke Nek Sirih untuk bersalaman. "Kami pamit dulu," ucap Retno.

Nek Sirih menatap mata Retno yang berwarna cokelat dengan saksama, lantas menyambut uluran tangannya.

"Awalnya aku ragu, tetapi setelah melihat sinar matamu, keraguanku hilang seperti debu. Tatapanmu sama seperti tatapan pria yang kukenal dulu!" serunya membuat tanda tanya di kepala Retno kembali muncul.

"Siapa?" tanya Retno tak mampu menahan rasa penasaran.

Nek Sirih menyipitkan matanya. "Atau mungkin ... kalian memiliki hubungan darah?"

Wawan hanya mendengar percakapan mereka dengan wajah bingung.

"Siapa namanya?" kejar Retno lagi.

"Putra Kelana!" tandas Nek Sirih.

Retno dan Wawan dibuat terbelalak mendengarnya.

"Bagaimana Nenek tau nama ayahnya?" tanya Wawan takjub.

Keringat menyucur di dahi Retno. Tangannya dingin bagai balok es.

Nek Sirih mengangguk sambil senyum. "Jadi benar? Kalau begitu kau orang yang tepat untuk menghentikannya! Biar kau yang masuk, dan temanmu yang menjaga benang sebagai jalan kembali!" Dia menatap Retno dan Wawan bergantian.

"Bagaimana Anda mengenal ayah saya?"

"Aku bisa menceritakan detailnya, tetapi bukankah saat ini ada yang lebih penting untuk kalian lakukan? Atau aku salah?"

Wawan menatap Retno yang terdiam, dia mengerti apa yang ada di pikiran Retno saat ini, yang ingin tahu lebih banyak tentang ayahnya yang sudah meninggalkannya sejak kecil.

Wawan menepuk bahu kanan Retno. "Ret, kita bisa kembali ke sini lagi setelah semua selesai!" serunya mencoba menenangkan pikiran sahabatnya itu.

Retno menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. "Baiklah, ayo kita pergi!"

Nek Sirih tersenyum puas mendengarnya. "Semoga berhasil, Nak," doanya.

Hamparan pasir putih, rerumputan liar yang jarang-jarang, dan pohon yang tumbuh berjauh-jauhanan yang dapat di hitung jari, adalah pemandangan yang sama terhampar seperti pertama kali mereka berhenti di tempat ini sebelumnya. Namun, ada yang berbeda kali ini, tempat ini bukan hanya menjadi perlintasan, tetapi menjadi sebuah tujuan.

DESA SETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang