Takluk!

17.8K 1.5K 97
                                    

"Ingat, tanduknya!" pesan Fajar sebelum mereka berhadapan dengan sang iblis.

Kelana dan Retno mengangguk, lantas mereka pun menyerang sang iblis secara langsung.

Makhluk laknatullah tersebut mustahil dilawan jika dia dalam kondisi terbaiknya, pun dalam keadaan seperti sekarang, dia masih sulit ditangani. Berkali-kali Kelana, Fajar, dan Retno berhasil dipukul telak olehnya, pontang-panting mencoba menghentikan langkahnya yang kokoh, bahkan kini mereka terpental jauh karena terkena hempasan tangan sang iblis.

"D-d-dia ... benar-benar sebuah kemustahilan," ucap Kelana dengan napas tersengal, di sebelahnya terbaring di tanah Fajar dan Retno.

"Wajar saja, dia hamba terdekat-Nya sebelum dilaknat, yang hanya bisa membinasakannya pun hanya Allah saja!" sahut Fajar.

"Dia semakin dekat ke Lima Dewan Kota." Retno mengingatkan kedua pria paruh baya di dekatnya.

Baru saja mereka bangkit, teriakan keempat terdengar, pendengaran sang iblis sudah berhasil diserang, membuatnya meraung sekeras-kerasnya, mencoba memastikan suaranya masih terdengar, bahkan dia memukul-mukul kedua telinganya dengan kuat, tetapi hanya sunyi senyap yang dia dapatkan.

"Ini kesempatan kita!" seru Kelana yang diamini Fajar dan Retno.

Di tengah kekalutan sang iblis, mereka bertiga mendekat, menempati tempat masing-masing, Fajar dan Retno menahan kaki sang iblis yang begitu besar, sementara Kelana yang mengurus tanduk sang iblis.

Indra perasa sang iblis yang sudah mati, membuatnya tak merasakan kehadiran mereka, sama sekali tak merasakan, tetapi langkahnya yang tertahan membuatnya sadar dan melihat ke arah Fajar dan Retno.

Sang iblis menangkap tubuh Fajar dan Retno, mencoba melepaskan kakinya dari pelukan mereka, tetapi dia terlihat gelisah, cengkeramannya tangannya seakan tanpa tenaga, membuat dia tak mampu menyingkirkan Fajar dan Retno, malah kini dia jatuh bertekuk lutut.

Apa yang Kelana perbuat dengan tanduk sang iblis, berhasil melemahkan kekuatannya, tetapi itu hanya sementara, sebab jika sang iblis sadar dan mengatasi Kelana, kekuatannya akan kembail, hanya saja dia bahkan tak sadar ada seseorang yang menginjak kepalanya dan mencoba mematahkan tanduknya.

Hampir menyerah, sang iblis lantas tersenyum saat satu-satunya indra yang masih bekerja, menangkap pantulan siluet seseorang di atas kepalanya, di genangan air yang tercipta karena hujan sebelumnya. Kelana yang tak tahu bahwa sang iblis sudah menyadari kehadirannya, terpental kembali saat tangan sang iblis memukulnya yang dalam keadaan tak siap.

Kekuatan sang iblis kembali, meski tak seluruhnya, dan dengan cepat dia menyingkirkan Fajar dan Retno di kakinya, membuat mereka terlempar kembali, lantas melayangkan pukulan yang membuat tanah di sekitarnya retak, membuat gelombang angin yang mampu membuat Lima Dewan Kota termundur dari tempat mereka duduk bersila, hingga beberapa dari mereka muntah darah.

Sang iblis tertawa, baginya cukup penglihatannya saja untuk menghentikan para orang limun.

Tanpa menunggu lagi, sang iblis berlari ke arah Lima Dewan Kota. Kelana, Fajar, dan Retno yang sudah kehabisan tenaga, hanya bisa melihat dengan pasrah dari tempat mereka terkapar.

Akan tetapi, langkah sang iblis perlahan memelan saat jaraknya sudah dekat dengan Lima Dewan Kota.

Terlihat dadanya naik turun. Kepalanya memutar-mutar, seperti melihat keadaan di sekitar, lantas tangannya meraba ke arah mata.

Teriakan kelima keluar dari mulutnya, teriakan yang lebih menggetarkan dari sebelum-sebelumnya, bahkan membuat telinga mereka yang ada di sana merasa sakit luar biasa.

"K-k-kita ... berhasil?" tanya Retno susah payah setelah sang iblis cukup lama terdiam.

Fajar dan Kelana saling tatap, lantas  tertawa meski setelahnya mereka terbatuk-batuk.

"Sepertinya begitu ... sepertinya begitu!" seru Kelana lega.

Lima Dewan Kota bangkit, lantas dengan tenang melangkah mendekat ke arah sang iblis yang berdiri terdiam seperti patung, menyisakan jarak sejauh dua meter saja di antara mereka.

"Buka sebentar indra pendengarannya," perintah sang pemimpin kepada dewan kota yang bertubuh besar.

"Baik," balas dewan kota yang bertugas mematikan indra pendengaran sang iblis.

"Semua indramu sudah mati, kau tahu jika melanjutkan perlawanan, hanya akan sia-sia, dan menjatuhkan harga dirimu yang setinggi langit ketujuh itu."

Sang iblis tersenyum, dia tak dapat melihat, tetapi pendengarannya yang di buka, membuatnya tahu posisi sang pemimpin yang sedang bicara

Kelana, Fajar, dan Retno yang babak belur, kini sudah bergabung dengan Lima Dewan Kota.

"Kembalilah ke tempatmu, dan jangan pernah kembali ke sini lagi, karena kami akan selalu ada untuk menggagalkan rencanamu lagi dan lagi," ucap sang pemimpin lagi, membuat senyuman sang iblis sirna.

Sang iblis berdiri. "Kali ini kalian berhasil menghentikanku, tetapi suatu saat, ketika hati para manusia sudah menghitam seperti arang, ditambah hadirnya sosok dari kalangan manusia yang menganggap dirinya Tuhan, itulah saat kemenangan bagiku!"

Para orang limun paham apa yang dia maksud. Saat tak ada kebaikan yang tersisa di hati manusia lagi, saat Dajjal keluar di akhir zaman nanti, saat itulah dia akan menggapai kemenangan.

Sang iblis membelakangi orang-orang limun, melangkah menjauh ke arah kegelapan sambil tertawa, lantas secara perlahan tubuhnya memumai dan terbawa angin hingga sosoknya hilang tak berjejak.

Mereka yang melihatnya mengucap syukur, karena berhasil membuat makhluk tersebut menyerah dan pergi.

"Kita berhasil, Pak!" seru Retno dengan mata berkaca-kaca.

Kelana yang memahami semua pengorbanan yang dilakukan Retno, memeluk erat tubuh anaknya itu, sangat erat hingga membuat Retno merasa begitu hangat.

"Terima kasih atas semua usahamu, Nak!" ucap Kelana. "Dan atas segala pengorbananmu!"

Retno tersenyum, meski jauh di lubuk hatinya ada kesedihan yang masih tersisa, sedih karena tak akan bisa bersama ibunya lagi.

"Kembalilah ke kota Padang 12 saat urusan kalian selesai, terutama kamu—Retno, tepati janjimu," ucap sang pemimpin Lima Dewan Kota dengan lembut.

"Baik, saya pasti akan menepati janji, seperti Bapak saya yang menepati janjinya hingga saat ini."

Sang pemimpin tersenyum mendengarnya

"Terima kasih, Datok, atas bantuannya," timpal Kelana lantas menyalami tangan Lima Dewan Kota, diikuti Fajar dan Retno.

Suara azan Subuh berkumandang, meski terdengar samar karena jaraknya yang jauh, tetapi membuat tenang mereka yang mendengarkannya.

Lima Dewan Kota bersama orang-orang limun lainnya pamit undur diri, kembali menuju Kota Padang 12, tugas mereka telah selesai.

"Sepertinya keadaan di desa sudah membaik, sudah terdengar kumandang adzan kembali," ucap Kelana.

Mereka kembali ke desa setelah memastikan tak ada lagi sesuatu yang terlewat di sana, bahkan segala macam alat perdukunan di dalam pondok sudah mereka hancurkan tanpa sisa, hanya meninggalkan bangunan pondok yang mungkin berguna sebagai tempat istirahat para pekerja sawit.

Matahari perlahan terbit dari arah timur, melenyapkan gelap bersama terang yang perlahan mulai merayap kembali di desa Pagar Mentimun.

Benar dugaan mereka, tangis kesedihan yang Retno dengar saat mengantar tubuhnya, kini sudah berubah menjadi tangis bahagia karena seluruh warga yang sempat meninggal, kini kembali hidup, menandakan tak ada satu pun yang iklhas atas kematian mereka yang tak masuk akal dan ganjil seperti itu. Namun ....

"Di mana arwah Wawan, Nek?" tanya Retno begitu tiba di rumah Pak Sugeng. Kelana dan Fajar ikut menoleh ke arah Nek Sirih.

"Itu yang ingin aku sampaikan kepadamu, Nak," ucap Nek Sirih. "Dia ...."

Bersambung.

#BangEn

Ini bab dengan plot terbaru, hingga nanti tamat, semuanya berbeda dengan versi sebelumnya.


DESA SETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang