20. Perasaan Baru

Start from the beginning
                                    

"Sini, biar gue yang jemurin." Bima mengambil handuk itu dari tangan Army. Namun, melihat rambut  Army yang masih basah, ia menggosokkan handuk ke rambutnya lagi. 

"Lo kayak bocah. Masih basah begini rambutnya, gimana, sih?" ujar Bima sembari terus mengerikan rambut Army dengan handuk. 

Jarak mereka sangat dekat, bahkan Army berhadapan langsung dengan dada Bima yang bidang. 

"Lo pakai baju, kek. Gue risi lihatnya." Mata Army bergerak-gerak. Ke mana pun, asal jangan ke pemandangan roti sobek di depannya. 

"Gue baru selesai mandi. Balik badan," perintahnya memutar tubuh Army 180 derajat. Cewek itu diam saja, membiarkan Bima mengeringkan rambutnya yang bergelombang. 

Di belakang Army, Bima tersenyum. Surai cokelat yang berkilau di bawah senja itu akhirnya bisa ia sentuh. 

Setelah selesai, Bima pergi ke bawah menjemur handuk dan mengambil makanan. Ibu nggak akan berhenti mengoceh kepadanya sebelum Army makan malam. Bima mengambil nampan yang berisi lauk dari kedai mereka yang sudah tutup. 

Kembali ke lantai dua, ia tak menemukan Army di kamar Yura. Army ditemukan tengah duduk memandang sebuah foto di kamarnya. Bima masuk membawa nampan. 

"Makan dulu," ajaknya. 

Mata Army tak beralih dari foto itu, "Bim..."

"Ya?"

"Cewek itu... dia? Rin?" 

Bima menghembuskan napas perlahan, mengangguk. 

"Lo belum cerita tentang dia ke gue?" Bola mata itu menatap Bima penuh rasa ingin tahu. 

"Variabel y nggak perlu tahu urusan variabel x, kan?" respon Bima meledek, lalu menjitak kepala Army. 

"Aww! Kenapa sih lo demen banget jitak kepala gue! Sakit tahu!" Army membalas satu pukulan di bahu Bima. 

Mereka makan di lantai beralaskan karpet motif mozaik berwarna cokelat. Bima tidak kaget lagi melihat Army yang makan dengan lahap. Ia menyukainya malah. 

"Lo tuh kalau kuliah bawa apa aja, sih? Laptop nggak bawa, catatan nggak bawa, otak juga ketinggalan," gerutu Bima di tengah kunyahannya. 

Army tertawa sombong, "Bawa diri, lah."

"Mana bisa kuliah bawa diri doang. Udah semester tua, jangan main-main." Suara Bima berubah serius. 

Army menggaruk kepalanya. Ah, mau Bima serius atau enggak, nggak akan masuk di telinga Army. "Variabel y berubah jobdesc jadi bokap gue," gumamnya. 

"Dibilangin." 

"Iya, Pak-Bima-yang-tehormat," balas Army memberi tekanan di kalimat terakhir. 

"Lo beneran nggak punya teman di kampus selain Nanang dan Langit?" 

Army menggeleng, "Nggak ada yang bener-bener jadi temen gue kayak Nanang atau Langit. Paling, cuma sebatas kenal, itu juga kalau pernah sekelompok."

"Makin suram aja hidup lo."

"Nggak masalah." Army mengedikkan bahu. "Dari SMA, nggak ada yang bener-bener bisa jadi temen gue. Mereka takut. Padahal gue nggak gigit."

Bima mengangguk. "Lo gorila soalnya." 

"Bukan, ish! Dulu gue pernah mukulin orang sampai bonyok." 

"Oh ya? Ternyata lo bukan gorila, tapi king kong."

Satu sentilan sukses membuat kuping Bima nyut-nyutan. "Adik gue pernah jadi korban bully sewaktu SMP. Gue dan Koko yang ngehajar abis-abisan pelakunya." 

Bima yang lagi mengusap-usap kupingnya, terdiam mendengarkan. "Jadi, dari SD sampai SMP, kami bertiga satu sekolah, beda tingkat aja. Alka yang emang sekolahnya kecepetan, duduk di kelas tujuh sebagai utas yang langsung menyorot perhatian banyak cowok di sana. Dia cantik dan pintar. Disukai banyak cowok tapi dimusuhin banyak cewek tanpa alasan yang jelas." 

Army memberi jeda, memberikan kesempatan guntur mengguruh di luar sana. "Entah gimana ceritanya, Koko nemuin adik gue tergeletak di taman belakang komplek sekolah yang sepi. Banyak luka lebam di tubuhnya, bahkan ada bekas cekikan di lehernya. Awalnya Alka nggak mau bilang apa-apa. Tapi, setelah dikorek-korek sama gue dan Koko, kita tahu pelakunya. Anak kelas sembilan, angkatan gue." 

Army menelan ludah, "Koko yang mendengar cerita Alka, langsung menghampiri gerombolan itu sepulang sekolah. Ada beberapa cowok dan cewek yang terlibat. Koko beresin yang cowok, gue beresin yang cewek. Eh, kita berdua yang malah kena kasus." 

"Loh? Terus?"

"Ya, gitu. Gue jadi dapat julukan cewek terserem seantero sekolah. Bahkan, sampai ke sekolah lain. Kebawa deh sampai SMA. Mereka jadi segan dekat-dekat gue. Jadi, teman gue cuma Langit sama Bulan."

Bima mengangguk paham. Pantas saja gorila di depannya ini tampak tak keberatan saat kuliah hanya berteman dengan secuil orang. Padahal menurut Bima, Army orang yang cukup terbuka dan tidak segarang yang dibilang rumor di fakultas mereka. Yah, walaupun ia harus mendapat bogeman keras di awal pertemuan mereka. 

"Nih, makan yang banyak. Biar makin kuat kayak queen kong." Bima menyendok nasi dan lauk ke piring Army. 

"Kok queen kong?"

"Kalau king kong jantan. Lo betina, kan?"

Tawa Army meledak, "Hahaha, sialan, lo."

"Mau pisang?" tawar Bima.

"Emang gue monyet! Tapi boleh, deh. Gue abisin ini dulu."

Senyum di bibir Bima tidak luntur terlukis. Cara makan gadis di hadapannya ini rakus sekali. Rambutnya yang tergerai berantakan beberapa kali nyaris menyentuh makanan di bawahnya. Melihat itu, Bima mendekatinya. 

"Rambut lo, ih." Tangannya terulur menyingkirkan rambut Army ke belakang agar tak menjuntai. 

Army menatap mata Bima, saking dekatnya, hidung mereka nyaris menempel. Napas mereka beradu. Dari jarak seperti ini, Army melihat pantulan dirinya di bola mata Bima yang pekat. Detak jantungnya nyaris tak lagi bisa ia rasakan. Bima semakin mendekat, matanya beralih turun ke bibir Army. 

Tidak! Tidak! 

Army tidak ingin termakan godaan kuatnya pesona Bima dalam kondisi mereka yang minim jarak. 

Saat Bima hampir menciumnya, Army memalingkan muka, menghalangi wajah Bima dengan kedua telapak tangannya.  

"S--Sorry, Bim. Gu--Gue mules! Mau ke toilet!" Sejurus kemudian, Army berlari ke kamar mandi, meninggalkan Bima yang terdiam merapatkan bibirnya kembali. 

****

Jangan lupa tinggalin jejak ya :D

Oh iya, pilihan lagu gue emang jadul banget, ya? wkwkwkk nggak apa-apa deh, abis pas lagi nulis part ini denger lagunya EXO wkwkwk xD 

Jangan lupa komentarnya..





ARMY (Completed)Where stories live. Discover now