t u j u h

7.7K 851 10
                                    

Hanung menyodorkan segelas es daluman padaku yang dengan senang hati kuterima. Ia duduk di sebelahku seraya menatap pantai. "Terima kasih."

"Untuk?"

"Menemani Hera."

"Saya mau Hera juga bercerita pada teman-temannya sudah menghabiskan liburan bersama keluarga."

Hanung menatapku.

"Saya tahu rasanya mendengar teman-teman bercerita tentang keluarga mereka, saya sangat tahu rasanya ketika melihat teman sebaya diambilkan rapor oleh kedua orang tuanya, saya... saya merasa jahat kalau membiarkan Hera terus bersedih."

"Saya sedang berusaha membuat Hera tidak merasakan itu."

Dengan cara berusaha membuat Mami menerima lamaranmu? "Semoga berhasil."

Ia mengangguk.

"Kamu harus lebih memerhatikan Hera. Bawalah dia piknik di taman."

"Kalau ada waktu."

"Harus ada!"

Terdengar helaan napas kasar darinya yang bercampur dengan angin sore. "Saya sibuk."

"Kalaupun kamu tidak bisa menjadi ibunya—memasakan bekal, mencuci bajunya, menemaninya di sekolah—jadilah ayah yang selalu memberinya kasih sayang tanpa membuatnya iri dengan teman-temannya."

"Diusahakan."

"Anak kecil tidak suka dibohongi."
Aku merapatkan kardigan yang melekat di tubuhku seraya menggosokan kedua telapak tangan. Beruntungnya hanya bagian bawah dressku yang terkena air, karena memang aku tidak ikut berenang ke tengah.

"Mau pulang?"

Aku menggeleng. Masih ingin menikmati angin sore di sini. Menatap lurus ke depan seraya mengulang bagaimana Hanung membujukku untuk ikut berenang agar Hera senang. Kami bermain air seperti keluarga lainnya. Dan dengan kurang ajarnya wajahku memanas mengingat Hanung hampir memeluk tubuhku yang sedang menggendong Hera. Apa-apaan, ini!

"Wajahmu memerah. Sebaiknya kita pulang."

Argh! Dasar Hanung menyebalkan! Mengganggu khayalanku saja.

"Apa?" Dia terlihat bingung.

"Hera dan Nia belum kembali."

"Kita tunggu di mobil."

Aku mengangguk, kemudian berjalan menunduk; mengamati pasir putih yang hinggap di sela-sela jari kaki karena tidak memakai sandal. Aku meringis merasakan punggung seseorang menabrak keningku. "Kenapa?"

Hanung masih membisu. Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti tatapannya yang jatuh pada—tunggu, kenapa Hera dan Nia sudah ada di mobil?

"Pak, Bu, maaf saya ke sini duluan, tadi Hera pengin langsung tidur di mobil," terang Nia.

Hanung mengangguk. "Ayo, pulang."

Perjalanan menuju hotel terasa lebih lama karena tidak ada suara berisik Hera yang meramaikan. Hanung memejamkan matanya yang mungkin kelelahan, sementara aku mengusap rambut Hera yang mulai berkeringat.

Aku mengecek ponsel yang sejak tadi di-silent. Ternyata banyak pesan dari mami yang menanyai kegiatanku. Dan mataku memicing saat mami mengatakan bagaimana asyiknya bermain air bersama HANUNG. Aku belum ingin membalasnya tapi mami sudah lebih dulu menelepon.

"Halo, Mam." Aku melirik ke arah Hanung yang masih bergeming.

"Ken, coba ceritakan bagaimana hari ini?"

"Biasa saja."

"Yakin?!"

"Hanya berenang biasa, Mam."

"Hanung?"

Aku berdecak malas. "Mam, aku tutup teleponnya."

"Kamu senang?"

Aku menggigit bibir bawahku. Aku senang, Mam. "Ya, gitu."

"Pasti senang, kan!"

"Hm." Kembali melirik Hanung, dan dia tetap bergeming. "Aku masih di jalan, nanti aku telepon lagi, ya."

Aku mematikan ponsel segera, kemudian memasukannya ke dalam tas. Aku tidak mau mami tahu betapa senangnya aku bersama Hanung dan Hera.

Tapi kenapa mami bisa tahu kalau aku pergi dengan Hanung dan Hera? Tidak mungkin 'kan, Pak Romi yang super sibuk itu mengadu pada mami?

"Saya yang memberitahu Brianna," ucap Hanung dengan mata terpejam.

"Maksudnya?"

"Saya bilang, kamu akan ke pantai bersama saya."

"Bersama Hera dan petugas hotel juga," ralatku.

c a n d y t a

"Heh, lo gak mau wisuda bareng gue? Pulang cepat!"

Aku menjauhkan ponsel dari telinga saat Sandra berseru di seberang sana. "Apa kabar lo yang minggu lalu pergi ke Sumba?"

"Itu karena gue lagi honeymoon!"

Dasar pengantin baru. "Gue juga butuh liburan, San."

"Ya sudah, jangan lama-lama. Kita barter oleh-oleh, ya!"

"Iya, bawel."

"Gue pengin ngasih surprise sama lo, Ken. Makanya... "

Aku tidak lagi mendengarkan Sandra saat ada sepasang tangan memeluk tulang keringku dari belakang. Bocah ini membuatku meringis. Kenapa harus datang lagi, sih?

"Maaa, Hera mau beli oleh-oleh."

"Sebentar ya, Nak." Aku melirik layar ponselku yang masih terhubung pada Sandra. "San, nanti gue telepon lagi, Bye!"

Aku berjongkok di depan Hera. "Hera kok bisa di sini? Sama siapa?"

"Sendiri."

Keningku mengernyit. Tidak mungkin Hera ke kolam seorang diri, terlebih kamar Hanung dan kamarku berada di lantai enam. Ya, meskipun aku pernah melihatnya memasuki lift seorang diri yang kemudian disusul Hanung.

"Hera!" Hanung berlari dengan wajah khawatir. "Papa 'kan sudah bilang jangan ke mana pun sendirian."

"Hera pengin beli oleh-oleh sama Mama Ken, Pa."

Dengan panik kutegakan tubuhku di samping Hera. "Bukan saya yang membawa Hera ke sini."

Hanung mengernyit. "Saya tidak menuduh kamu."

O-oke. Aku hanya tidak mau dia salah paham.

"Ma, ayo beli oleh-oleh!" Hera menarik tali bathrobe-ku hingga terlepas, dan—AKU MELIHAT TELINGANYA YANG MEMERAH DAN DIA MEMBUANG PANDANGAN KE ARAH LAIN.

Oh, shit! Aku segera mengikat kembali bathrobe yang kukenakan dan berlari menuju lift. Mau ditaruh di mana lagi wajahku? Setelah rambut singa, sekarang dia melihat bikini hitamku! Mati saja kamu, Ken.

c a n d y t a

Eksodus Rasa ✓Where stories live. Discover now