s a t u

9.9K 934 3
                                    

Sebelum memasuki restoran yang sudah mami kirimkan alamatnya, aku membenarkan penampilanku terlebih dulu. Hari ini aku terpaksa memakai pakaian kantor lagi demi menemui Hanung, klien yang dua minggu ini gencar mendekati mami.

Tadi pagi aku sempat protes, kenapa harus aku yang menggantikan mami sementara ada mbak Gia yang menjadi sekretaris mami. Tapi mami mengatakan mbak Gia hanya akan menemaniku saja. FYI, aku bahkan tidak tahu menahu tentang urusan kantor. Aku hanya seorang mahasiswi jurusan tata boga yang sibuk skripsi.

"Bu Candy, sebaiknya kita segera menemui pak Hanung."

Aku menoleh ke arah mbak Gia yang ada di sampingku. "Dyta, please. Dan aku belum bisa dibilang ibu, Mbak."

Mbak Gia mengangguk.

Kami segera keluar dari benz merah milikku, kemudian langsung ke ruangan yang dipesankan Hanung secara privat. Terlalu berlebihan untuk mendekati janda beranak satu seperti mami.

"Selamat siang, Pak Hanung." Sebisa mungkin aku menebar senyum ramah.

Pria dengan setelah jas itu mendongak dari tab-nya. Sial! Kenapa SANGAT tampan, sih? But I'm not in love at first sight, yeah. Dia ini sudah cocok jadi bapak. Alias wajahnya sudah dewasa.

Alisnya menyatu. "Maaf?"

Mbak Gia berdehem. "Maaf Pak Hanung, bu Brianna sedang tidak bisa hadir, maka saya datang bersama putrinya, bu Dyta."

Aku masih tersenyum meskipun air wajahnya langsung berubah tidak enak. Hanung mangangguk kaku. Minggu lalu, saat pertemuan pertamaku dengan perusahaannya, dia tidak datang. Hanya ada sekretarisnya. Mungkin kecewa karena mami lebih dulu memberitahu malamnya. Dan sekarang lagi-lagi Hanung harus menelan pil pahit itu, karena semalam mami sengaja tidak menguhubunginya.

Setelah memesan makanan mbak Gia segera mengeluarkan tab kerjanya. Aku hanya menatap sekeliling, tidak ada sekretarisnya yang minggu lalu datang. Tidak mungkin 'kan dia berencana ingin berduaan dengan em... mami, mungkin?

"Papa!"

Kami menoleh mendengar seruan itu. Seorang bocah berseragam TK berlari memeluk kaki Hanung. O-ow, ternyata dia memang sudah jadi bapak. Aku sempat bertukar senyum dengan sekretarisnya yang berjalan di belakang bocah itu.

"Pa, mbak Tisha beliin Hera es krim stoberi!" Bocah itu menyodorkan dua cone es krim pada Hanung.

Hanung mengusap puncak kepala anaknya. "Hera, papa lagi ada tamu."

"Tapi Hera mau makan es krim sama papa," rengek bocah itu.

Aku menyenggol lengan mbak Gia. "Kita cuma mau nonton drama bapak dan anak doang?" bisikku.

Seolah menangkap gelagatku, Tisha segera duduk. "Gak pa-pa, Pak, biar saya yang meng-handle pekerjaan. Bapak temani Hera makan siang aja," ujarnya.

Hanung menatapku, kemudian menatap anaknya, menatapku lagi, dan menatap anaknya lagi. Dia mengangguk. "Saya percayakan ini padamu, Tisha," katanya sebelum keluar ruangan membawa anaknya.

"Maaf atas ketidaknyamanannya. Bapak tidak tega meninggalkan Hera sendiri di rumah," terang Tisha.

"Jadi pak Hanung itu duda ya, Mbak?" kataku pada Tisha.

"Iya, Bu. Sudah lama menduda sejak kelahiran Hera." Kemudian Tisha melotot. Sepertinya dia keceplosan menceritakan kisah bosnya.

Aku berdehem. "Ya sudah, biarkan pak Hanung makan siang dengan anaknya. Saya juga tidak mengerti masalah perusahaan."

Kemudian mbak Gia dan Tisha membahas pembangunan hotel yang akan dibangun di Nusa Dua, rencananya akhir bulan nanti mami akan survei tempatnya. Aku menikmati makan siangku yang baru saja diantar pramusaji, sesekali mendengar apa yang kedua sekretaris itu bicarakan.

c a n d y t a

"Aku tidak mau bertemu Hanung," putusku saat sampai rumah.

"Kenapa Ken? Dia tidak datang lagi?" tanya mami.

"Datang sih, datang. Tapi membawa anaknya. Itu pun dia langsung pergi menemani anaknya makan siang." Ada jeda sesaat. Aku melirik mami yang masih termangu. "Sudah lah, Mam, tidak perlu menghindarinya."

Mami menghela napas kasar. "Mami tidak mau memberi Hanung harapan."

"Tapi jangan bawa-bawa aku, Mam. Cukup skripsi dan dosbing yang membuatku pusing, kisah cinta Mami jangan." Setelah itu, aku beranjak menuju kamar.

Mami harus mengambil keputusan dengan bijak. Tidak bisa menghindari Hanung dan terus memintaku menggantikannya pada tiap pertemuan.

Ponselku bergetar di dalam tas. Mbak Gia.

"Kenapa, Mbak?"

"Ken, saya lupa ngasih tahu, nanti malam ada undangan pernikahan anaknya pak Bramantyo di hotel Kencana. Beliau mewanti-wanti untuk bu Brianna datang."

"Mbak Gia saja yang mengatakannya pada mami."

"Oke, deh."

Aku menggulir linimasa Instagram setelah mbak Gia memutuskan sambungan telepon. Aku melihat postingan Sandra—temanku di kampus—yang terbaru, dia sedang berada Sumba bersama suaminya. Dipikir-pikir, sudah lama juga aku tidak liburan. Mungkin pergi ke Nusa Dua nanti adalah pilihan yang bagus.

Layar ponselku kembali menampakan nama mbak Gia. Kenapa lagi, sih.

"Halo, Ken, ibu mau datang asal kamu ikut. Siap-siap ya, saya tidak mau pak Bramantyo kecewa."

"Tidak. Aku sibuk."

"Maaf, Ken. Sebaiknya segera dapatkan gaun untuk malam ini sebelum pak Bramantyo kecewa."


c a n d y t a


—Salam donat💙
13/04/20

Eksodus Rasa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang