l i m a

7.7K 859 3
                                    

Aku terbangun saat sinar matahari menembus jendela. Ugh, selain Aksel, tidak ada yang berani mengganggu tidurku seperti ini. Aku mengerang, membalikan tubuhku dan memeluk Hera.

Tunggu.

Mataku melotot sempurna. Aku mendudukan tubuhku kemudian melihat Hera yang masih bergelung di dalam selimut. Hari sudah siang dan aku tidak melihat keberadaan Hanung. Sebaiknya aku kembali ke kamarku sebelum Hanung membangunkan Hera.

Aku meringis saat pergelangan kakiku yang masih agak bengkak. Baru akan menginjakan kaki di karpet, mataku membola saat Hanung keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk sepinggang. Ia membuka koper lalu mengambil pakaiannya. Aku membuang pandangan ke arah lain saat Hanung membuka handuknya. Wajahku memanas karenanya. Tidak, tidak!  Aku tidak melihat bagian yang itu. Bodoh, kamu, Ken! Harusnya kamu segera keluar! Aku melirik Hanung yang menatapku kaget. Tidak lama. Dia segera menghampiriku.

"A-aku tidak melihat apa-apa!" kataku sebelum dia mengangkat suara.

Hanung terdiam.

"Aku pergi dulu." Setelah itu, aku segera pergi ke kamarku dengan perasaan berdebar. Mengabaikan rasa sakit di pergelangan kaki.

Aku menutup pintu kamar dengan kencang, kemudian bersandar pada pintu itu. Meraba dadaku, dan merasakan debarannya yang menggila. "Bodoh banget, sih, Ken! Bagaimana kalau dia menganggapku mesum? Atau memberitahu mami karena aku lancang tidur di kamarnya? Aku harus bagaimana?"

Ketukan dari luar mengagetkanku. "Candy, ini om Pram."

Aku mengatur debaranku terlebih dulu sebelum membukakan pintu.

"Breakfast is coming!"

"Kok Om Pram yang bawa?" kataku seraya membuka pintu dengan lebar.

Om Pram mengedikan bahu, beliau mendorong troli ke dalam kamar, lalu meletakan sarapanku di atas meja dengan rapi. "Ada yang kurang?"

Aku menggeleng. "Makasih, Om."

"Rambut yang cantik di pagi hari, Ken." Om Pram mengerling jenaka sebelum menutup pintu.

Aku berlari ke arah cermin, kemudian menutup wajahku dengan tangan. Rambut singa! Aku selalu benci bangun tidur, benci rambutku yang mengembang. Dan... YA AMPUN INI KALI KEDUA HANUNG MELIHAT RAMBUT SINGAKU!

c a n d y t a

"Bu Dyta, kakinya masih sakit?"

Aku melotot ke arah Tisha. Di mana ada Tisha pasti di situ ada Hanung. Bagaimana ini, aku tidak tahu mau ditaruh di mana wajahku setelah kejadian tadi pagi.

"Bu, kenapa?"

"Eh, tidak pa-pa, kok." Aku duduk di meja dekat jendela. "Oh, iya, Mbak Tisha kenapa tidak membangunkan saya semalam?"

"Oh, itu," Tisha terlihat gugup. "bapak bilang biarkan Bu Dyta tidur menemani Hera."

"Hanung?"

Tisha mengangguk.

"Tadi pagi saya kaget dan malu melihat Hanung di kamar," curhatku.

"Em, Bu, saya boleh tanya?"

"Boleh."

"Ibu tahu pak Hanung bertengkar dengan bu Brianna?"

"Kapan?"

"Setelah keluar dari kamar Bu Dyta kemarin." Tisha terlihat cemas.

"Hah, serius?"

Tisha mengangguk. "Bu, saya tahu ini rumit. Tapi saya lebih setuju Ibu yang menikah dengan bapak."

Aku tersenyum kecut. "Hanung cinta sama ibu saya. Dia sedang memperjuangkan cintanya, Mbak."

Hening yang cukup panjang. Kami hanya menikmati makan siang. Mungkin Tisha merasa bersalah atau apa, aku tidak tahu.

"Mama Ken!" Hera berlari ke arahku dengan Hanung di belakangnya. Wajahku kembali memanas. Tentang rambutku, juga Hanung yang sembarang mengganti pakaiannya. Sial!

"Jangan lari, Nak."

"Kenapa Mama Ken gak ada pas Hera bangun? Hera sedih." Manik bocah ini sudah berkaca-kaca, membuatku membawanya ke pangkuanku.

"Tante ada urusan, jadi gak bisa di kamar Hera lama-lama."

"Nanti malam tidurnya sama Hera lagi, ya!"

Hanung berdehem. "Tidak bisa, Nak."

"Kenapa gak bisa tidur sama kita, Pa?"

"Karena tante punya kamar sendiri."

"Mama Ken gak mau ya, tidur sama sama Hera? Hera janji gak nakal lagi, Hera gak akan nangis lagi, asal Mama Ken tidur sama Hera."

Ya Tuhan, anak ini membuatku tidak bisa berkata apapun lagi.

"Hera, makan dulu sini sama papa."

Hera menggeleng. "Mau makan sama Mama Ken."

Aku mengambil alih piring yang dipegang Hanung, lalu menyimpannya di atas meja. "Sini, tante suapin."

Dengan semangat Hera melahap  makan siangnya. "Enak!"

Hanung mengusap puncak kepala anaknya. "Papa ke kamar dulu. Jangan nakal."

Sepeninggalan pria itu, aku bersandar pada kursi. Tisha yang sejak tadi diam pun menghela napas lega. Bersyukur Hanung tidak ikut makan siang di sini.

"Bu, maaf saya nguping. Habisnya tidak enak mau pindah tapi belum pamit, diam juga salah," sesal Tisha.

Aku mengangguk. "Justru kalau Mbak Tisha pindah malah saya yang bingung menghadapi Hanung."

"Mama, Hera mau makan lagi!" Aku kembali menyuapi Hera yang sepertinya kelaparan.

"Pak Hanung memang pendiam, Bu. Tapi sebenarnya sangat menyayangi Hera. Beliau tidak bisa mengatakannya secara gamblang, tapi melalui perbuatan."

Oh, ya? Tapi dia secara gamblang menyatakan cintanya pada ibu saya.

Duh, apa sih, Ken!

c a n d y t a

—Salam donat💙
13/04/20

Eksodus Rasa ✓Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon