Jam beker berdering, membangunkan gue dari tidur panjang. Berharap semua ini adalah mimpi, tapi realitas kembali menampar.

Della ternyata tidak pulang semalam. Dia masih dengan posisinya di ranjang gue. Dia emang sahabat yang paling ngerti perasaan gue. Tanpa berniat membangunkan, gue berjalan keluar kamar dengan langkah kecil dan berharap tidak menimbulkan suara.

Gue berjalan menuju dapur, menyiapkan sarapan seadanya untuk nanti berangkat sekolah. Bagaiamanapun, gue harus belajar mandiri. Nggak ada lagi mama yang akan menyiapkan makanan, nggak ada lagi mama yang akan bangunin gue, dan nggak ada lagi mama yang akan menyambut letih gue setelah seharian penuh bersekolah. Ya meskipun mama nggak pergi untuk selamanya, tapi mama pergi untuk waktu yang gue rasa cukup panjang.

Gue masak nasi goreng dengan menggunakan bahan dapur yang ada. Mengiris bawang lalu menggorengnya. Gue menoleh ke meja makan saat mendengar suara decitan kursi yang ditarik.

Di sana ada Riyan yang udah duduk di meja makan. Ia masih mengenakan baju kaosnya. Gue rasa dia bahkan belum cuci muka.

"Mandi. Abis itu sarapan," ujar gue lalu kembali memfokuskan diri pada bawang yang sedang digoreng.

Tanpa terasa air mata gue menitik. Di satu sisi, gue merasa rapuh dengan keputusan mama yang mendadak, di satu sisi gue ingin egois untuk menyalahkan Riyan.

Gue lalu menoleh kembali ke arah Riyan setelah menghapus beberapa tetes air mata yang jatuh. Di sana, Riyan duduk dengan termenung, air matanya jatuh.

"Ngapain nangis? Lo sadar nggak, mama pergi gara-gara lo bego," gue berteriak cukup keras sambil membanting sendok yang tadi gue gunakan untuk mengaduk bawang goreng.

Gue mematikan kompor lalu menghampiri Riyan. Mood gue untuk masak udah hilang. Diri gue kini dipenuhi rasa marah.

Gue menarik satu kursi di samping Riyan, lalu mendudukkan diri di sana. Gue mangangkat dagu Riyan dengan sedikit kasar menggunakan sebelah tangan gue.

"Nggak usah nangis. Lo yang buat mama pergi. Lo egois, lo nggak pernah sadar betapa besarnya hal yang udah dilakuin mama buat lo. Tapi apa? Lo selalu merasa dipilihkasihkan. Lo egois Yan," teriak gue tepat di depan wajahnya sambil melepaskan dagunya yang tadi gue cengkeram.

Tak ada reaksi dari Riyan, hanya ada isakannya. Ia lalu meninggalkan gue dan berlari ke lantai atas menuju kamarnya. Dan perlahan air mata gue turut meluncur.

Gue menjambak rambut gue sekuat mungkin. Memukul-mukul meja makan sekuat tenaga gue. Dan gue mengambil gelas yang berisi air putih di atas meja, lalu membantingnya hingga menimbulkan suara yang memekakkan. Gelas itu pecah menjadi kepingan kaca. Gue terus berteriak, menjambak rambut gue sendiri, memukul diri gue sendiri, gue menyakiti diri gue sendiri dengan tujuan agar semuanya cepat berlalu.

Gue merasa lelah dengan semua ini. Gue nggak tau siapa yang harus disalahkan atas apa yang terjadi kemarin dan hari ini. Dengan egoisnya gue menyalahkan Riyan di sini. Hati gue menolak untuk menyalahkan Riyan, tapi logika gue berkata bahwa Riyan patut untuk disalahkan.

Gue manangis sejadi-jadinya. Seterpuruk itukah? Jawabannya jelas iya. Ini belum seberapa, ini hanya kenyataan bahwa mama ninggalin gue ke luar negeri untuk bekerja, tapi gue udah serapuh ini. Lalu apa yang akan terjadi bila mama benar-benar pergi untuk selamanya. Oh Tuhan, gue nggak akan sanggup.

Gue kambali meraih gelas yang ada di atas meja. Membantingnya lagi hingga pecah berkeping-keping. Lalu sebuah tangan, ah mungkin lebih tepatnya sebuah rangkulan menyelimuti tubuh gue yang bergetar. Dia memegang erat tangan gue yang berusaha ingin terus menjambak rambut gue sendiri.

About ZeyaWhere stories live. Discover now