14. Night Talk

Mulai dari awal
                                    

Merasa diperhatikan, Aaru menoleh dan memandang Raka dengan mata memicing.

“Dari orang-orang munafik sepertimu,” ujar Aaru serupa bisikan. Sangat lirih.

Caraka tertegun di tempatnya. Ia tak tahu apa maksud perkataan Aarunya.

“Tak semua orang benar-benar baik. Mereka mengharap timbal balik atas apa yang mereka lakukan. Memang benar, manusia diciptakan untuk saling memanfaatkan. Aku sangat paham. Kau tahu, Caraka? Mereka hanya terlalu takut untuk mengakuinya.” Aaru kembali menengadahkan kepala.

“Apa maksud perkataanmu, Aar?”

Tanpa menoleh, perempuan itu menjawab, “tak ada maksud apa-apa. Untuk apa kamu kemari?”

“Kamu mengalihkan pembicaraan.” Raka berdecak.

Beberapa detik, Caraka tertegun. Aaru terkekeh singkat di sampingnya. Tawa tanpa paksaan.

“Kamu tahu aku, Caraka.”

“Aku hanya tau namamu, Aar. Selain itu, tidak ada. Karena kamu sendiri, tidak mengizinkan, bukan?” Raka menghela napasnya pelan.

“Apa tujuanmu mendekatiku selama ini?” tanya Aaru.

“Tentu saja karena aku tertarik.”

Aaru menautkan jari-jarinya.

“Hubungan.” Sejenak Aaru menjeda ucapannya. “Kamu berharap memiliki hubungan denganku setelah semua kebaikanmu. Bukan begitu, Caraka Lambara?”

Raka hanya diam. Memang benar. Lagipula, Caraka sudah saatnya untuk menjalin hubungan, menikah, lantas berkeluarga, bukan?

“Tak ada yang benar-benar tulus dari kebaikanmu.”

“Aar. Aku sudah 25 tahun. Sudah selayaknya aku menikah. Tentu saja aku harus berbuat baik untuk menarik perhatian perempuan yang aku suka. Dan dalam hal ini, kamu orangnya. Kamu tau itu.”

“Ya. Aku tau.”

Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.

🍁🍁🍁

“Kakak, mau beli bunga, tidak?” tanya gadis kecil membuat dua orang dewasa di hadapannya menghentikan langkah.

“Kamu jualan bunga malam-malam begini?” tanya Raka.

Gadis kecil itu hanya mengangguk dengan senyum sedih.

Raka dan Aaru memang memutuskan untuk berjalan di sekitar taman. Toh, waktu masih menunjukkan pukul delapan.

Aaru berjongkok menyamakan tingginya dengan gadis itu.
“Kenapa sedih?”

“Vivi nggak apa-apa, Kak. Jadi mau beli bunga, tidak?” Gadis kecil bernama Vivi itu kembali menawarkan mawar di tangannya.

Aaru mendongakkan kepala menatap Raka yang masih diam.

“Berapa harganya?” tanya Aaru dengan lembut.

“Tujuh ribu setangkai.” Vivi menyunggingkan senyum.

“Kakak beli semuanya, boleh?”

“Kakak cantik beneran?” Mata Vivi membulat sempurna tanda terkejut.

Aaru hanya mengangguk disertai senyum manis di bibirnya. Perempuan itu mengambil uang di saku belakang celananya. Selembar uang seratus ribu diserahkan Aaru kepada Vivi.

Vivi sendiri memberikan bunga berjumlah tujuh tangkai kepada Aaru.

“Vivi nggak punya kembalian, Kak. Ada uang pas?”

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang