14. Night Talk

173 41 10
                                    

Meli terlihat kebingungan di tempatnya berdiri. Ada seorang pelanggan yang menawarkan kerja sama bisnis dengan kedai itu, namun sampai pukul 2 siang, Aaru tak juga menampakkan batang hidungnya.

Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi bosnya, namun nihil. Tak satu pun panggilannya diangkat oleh perempuan itu.

“Mbak Aaru belum bisa dihubungi, Mbak?” tanya Nanda.

“Belum, Nan. Padahal yang nawarin kerja sama ini minta konfirmasi paling lambat nanti jam 4 sore.”

“Tapi Bapak itu udah ninggalin kartu nama, kan, Mbak?”

Meli hanya mengangguk.

“Tapi sebenernya aku bukan khawatir masalah kerja samanya sih, Nan. Tapi Mbak Aaru. Ini baru pertama kali loh dia nggak ke sini. Sebelum-sebelumnya nggak pernah. Aku jadi takut terjadi sesuatu sama bos.” Meli memusatkan pandangannya pada pintu masuk.

Chat aja, Mbak. Biar nanti dibaca sama Mbak Aaru. Lagipula, kita nggak bisa ninggalin kedai gitu aja,” usul Nanda dengan wajah khawatirnya.

Meli menghela napasnya pelan lantas mengetikkan sesuatu di ponselnya dan kembali bekerja.

🍁🍁🍁

Lagi-lagi bulan sudah bertakhta di atas sana. Menggantikan peran mentari yang sudah berjaga seharian.

Angin malam berembus cukup kencang. Dingin memang, tapi tak berpengaruh apa-apa untuk perempuan itu. Ia masih berjalan dengan tenang menyusuri jalan setapak yang memang disediakan di taman.

Matanya menyapu sekeliling. Tak terlalu banyak orang mengingat hari ini bukan akhir pekan. Namun, pemandangan yang ia lihat cukup menohok hatinya.

Seorang anak kecil tengah bermain jungkat-jungkit dengan sang Ayah. Anak itu tertawa dengan riang. Rambut bergelombang sebahunya termakan angin hingga beberapa kali menutup mata cantiknya.

Tak ingin berlama-lama melihat, perempuan itu kembali melangkah. Ia memilih berhenti di sebuah bangku dan duduk di sana.

Beberapa kali mengembuskan napas pelan, tangannya terjulur ke atas kepala. Ia melepaskan ikat rambut yang sejak pagi mencengkeram kepalanya. Selesai. Rambut dengan ujung hijau pudar sebahunya tergerai dengan bebas.

“Aaru. Kaukah itu?” Sebuah suara menginterupsi dan membuatnya menoleh.

“Ternyata benar. Ada bidadari di sini,” lanjut lelaki yang menyapanya lantas duduk di sebelah Aaru.

“Baru kali ini aku melihatmu tanpa cepolan rambut. You look different.”

Tak ada respon apa pun dari Aarunya. Ia hanya menatap laki-laki itu datar.

“Ngomong-ngomong, sedang apa kamu malam-malam di sini?”

“Ini bukan taman milikmu. Jadi, apa salahnya?” balas Aaru pada akhirnya.

“Ya, hanya ... sangat tidak biasa. Aaru yang biasanya berada di balik mesin peracik kopi, tiba-tiba ada di taman seperti ini.”

Aaru menengadahkan kepalanya ke langit. Melihat benda-benda angkasa yang dapat terjangkau pandangannya.

“Melepas penat,” balas Aaru singkat.

“Ternyata kamu juga punya penat.”

“Aku masih manusia biasa, Caraka.”

Caraka, lelaki yang tak sengaja bertemu Aaru. Ia terkekeh singkat menanggapi ucapan perempuan itu.

“Penat dari rutinitasmu atau ... pemikiran-pemikiranmu yang berat itu?” Caraka memandang Aaru dari samping.

ForegoneWhere stories live. Discover now