8. Rival

240 53 21
                                    

Seorang gadis 9 tahun menawarkan bunga dagangannya ke setiap pengendara mobil dan motor yang memarkir kendaraannya di sebuah taman wisata. Ia membawa beberapa tangkai mawar yang terbungkus plastik dengan rapi. Sebenarnya, pekerjaan semacam itu sudah biasa dilakukan di kota besar seperti Jakarta, namun kesannya akan berbeda jika yang melakukannya adalah gadis berkaki satu seperti Laras,  gadis 9 tahun itu.

Laras kehilangan kakinya saat berusia 5 tahun. Saat itu, ia menemani sang Ibu berjualan air mineral di pinggir jalan. Laras kecil yang belum tahu bahaya, tak sengaja lepas dari pengawasan Ninis—almarhumah Ibunya. Ia berlari ke jalan raya dan tertabrak mobil yang tengah melintas.

Ninis berusaha menyelamatkan anak semata wayangnya, namun gagal. Ia justru harus meregang nyawa karena benturan keras di kepala. Sementara Laras sendiri, ia terlempar sesaat setelah Ninis mendorongnya. Kaki kecil gadis itu menghantam pinggiran trotoar dengan keras. Alhasil, kakinya harus diamputasi karena alasan kesehatan.

Laras tumbuh menjadi anak mandiri. Ia sudah tak memiliki keluarga sama sekali. Harapan hidup satu-satunya adalah bunga dagangan di tangannya. Meski begitu, ia bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup oleh Yang Maha Kuasa.

“Bunganya, Mas? Bisa untuk Ibunya di rumah,” tawarnya pada seorang pemuda pengendara motor.

Pemuda itu meneliti penampilan Laras. Rambut panjang dikuncir seadanya, baju dan celana rumahan yang sudah usang, serta sendal jepit yang dipakai Laras di kaki kiri. Ia juga menggunakan kruk sebagai alat bantunya dalam berjalan.

“Dek, maaf. Kaki kamu kenapa?” tanya pemuda pada akhirnya.

“Tuhan lebih sayang sama kaki Laras, Mas. Makanya diambil,” jawab Laras sambil tersenyum lebar.

Pemuda itu tertegun. Baru kali ini ia menemui anak seperti Laras.

“Satu tangkainya berapa?”

“Tujuh ribu saja, Mas.” Pemuda itu memberikan selembar uang 20 ribuan serta selembar uang seribuan dari dalam dompetnya.

Saat akan menyerahkan bunga itu, si pemuda kembali bersuara. “Bunganya, tolong kasih ke Ibu kamu, ya. Bilang aja, itu dari Mas yang kagum sama anaknya.”

“Bener, Mas?” lelaki itu mengangguk.

“Wah ... terima kasih kalau begitu. Nanti, Laras akan bicara sama Bunda. Terus, bunganya Laras taruh di makam Bunda.”

Lagi-lagi pemuda itu tertegun. Ia melihat bagaimana lebarnya senyum Laras. Padahal, ia tahu, gadis itu telah kehilangan satu kaki dan Ibunya.

Tanpa mau menyinggung perihal Ibu Laras yang telah tiada, pemuda itu hanya mengangguk lantas tersenyum hangat.

Setelah pamit kepada pemuda itu, Laras berjalan dengan pelan sambil tertatih menghampiri sebuah toko kecil di ujung jalan. Di depan toko itu, tergantung sebuah plang bertuliskan “Street Florist” yang tidak terlalu besar.

“Bagaimana, Ras? Laku bunganya?” tanya Dede—perempuan paruh baya pemilik toko.

“Alhamdulillah, Bu. Tadi ada mas-mas baik hati yang beli bunga Laras. Terus ... bunganya disuruh kasih ke Bunda,” jelasnya antusias.

“Oh iya, Bu. Ini uangnya.” Dede menerima uang itu lantas memberikan sejumlah uang pada Laras sebagai upah.

“Terima kasih, Bu. Laras mau pulang dulu, ya. Mau ke makam Bunda.” Dede hanya mengangguk.

ForegoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang