Janu menghampiri Rani saat melihatnya melambaikan tangan. Gadis itu terlihat cantik tanpa snelli.

"Hai, Dokter," sapa Rani malu.

"Lama nunggu?"

Rani menggeleng, lalu berkata, "Langsung pesen aja. Waktu kita terbatas."

Janu mengambil daftar menu yang disodorkan kepadanya. Semua sajian di restoran ini memiliki cita rasa tradisional. Lelaki itu memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan. Dia juga bertanya apa yang menjadi andalan di restoran ini.

Si pelayan menyebutkan apa saja yang menjadi favorit pelanggan. Salah satunya bebek kremes dengan sambal yang berbeda. Ada beberapa yang lain tetapi tak selaris menu itu.

"Kok, baru datang?" tanya Rani membuka percakapan. Gadis itu bingung hendak bicara apa. Andaikan Janu lebih friendy sedikit mungkin dia tidak akan merasa canggung.

"Sorry tadi ada pasien yang balik konsultasi dari Lab. Jadi saya beresin dia dulu. Kamu udah lama nunggu, ya?"

"Lumayan. Dokter habis ini balik lagi ke rumah sakit?"

"Visite. Poli dari tadi sudah selesai. Akhir bulan biasanya emang gini, pasien sepi."

Janu membolak-balikkan daftar menu yang tadi ditinggalkan oleh pelayan. Dia melihat ulang karena akan mencoba yang lain jika suatu saat berkunjung lagi.

Tak lama, pelayan datang membawakan pesanan mereka. Asap mengebul dari bebek yang baru saja digoreng. Aromanya sungguh menggugah selera.

Mereka makan dengan lahap tanpa banyak bicara. Sepertinya, adab makan seperti ini sudah dibiasakan sejak kecil, sehingga sudah terbiasa ketika di luar.

"Gimana kesannya setelah kerja di rumah sakit, Dokter?"

"Sejauh ini aman. Nyaman juga. Rekan kerjanya baik, manajemen juga."

Janu mengaduk-aduk gula yang menumpuk di ujung gelas, agar tercampur rata dengan minuman. Dengan perlahan dia meneguknya, menikmati setiap rasa yang melewati lidah.

"Saya juga betah di rumah sakit ini. Apalagi sejak ada Dokter Janu. Jadi makin semangat kerjanya," ucap Rani sembari tertunduk.

Janu melatakkan sendok, lalu menatap Rani dengan takjub. Dalam hatinya bertanya-tanya apa maksud dari ucapan itu.

"Syukulah kalau betah. Kita kerja di mana aja kalau pintar ngebawa diri, ya lancar." Senyum mengembang di bibir Janu, lucu saat mendengar kata-kata Rani tadi.

Suasana seketika menjadi hening. Mereka sama-sama semakin canggung untuk melanjutkan perbincangan, hinga Rani kembali mengucapkan sesuatu.

"Dokter. Saya--"

Janu menaikkan alis, menunggu apa yang akan disampaikan Rani. Gelagat gadis itu sudah mulai aneh saat pertama kali dia masuk ke restoran ini.

Rani tampak berbeda. Sekali pun ini hanya makan siang biasa, gadis itu memakai make-up yang agak mencolok. Dia juga mengganti pakaian, berbeda dari yang tadi pagi saat mereka bertemu.

"Saya suka."

"Maksudnya?"

Janu masih tak mengerti apa maksud dari ucapan Rani, sehingga lelaki itu mengangkat bahunya.

"Saya suka ... Dokter Janu!"

Damn! Janu ditembak cewek.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Janu memutar lagu di mobil sembari bernyanyi. Hatinya begitu bahagia.

"Saya suka ... Dokter Janu!"

Wajah Rani terlihat ketakutan saat mengucapkannya. Gadis itu membuang pandangan karena tak berani menatap wajah Janu.

Sungguh, Janu salut akan keberaniannya saat menyatakan perasaan. Rani, sudah merendahkan harga diri dengan mengatakan itu lebih dulu.

"Iya."

Simple saja Janu menjawab. Entah Rani mau mengartikan apa, itu terserah kepadanya. Dia juga diam-diam menyukai gadis itu sejak kejadian di IGD.

Mata Rani tampak berbinar-binar saat Janu mengatakan iya. Gadis itu meraih tangan Janu dan menggenggamnya dengan erat. Jemari mereka bertautan sembari bercerita banyak hal, hingga waktu makan siang habis.

Mereka berpisah saat pulang, karena membawa kendaraan masing-masing. Ternyata, memiliki pasangan itu gampang juga. Janu tidak perlu bersikap seperti teman-teman yang lain. Sibuk melakukan pendekatan dengan para wanita atau menebar pesona ke sana ke sini dan mengobral rayuan maut.

Janu hanya perlu bersikap baik, sedikit cuek dan menjaga jarak. Hasilnya, dia terlihat lebih menggoda. Kaum Hawa masa kini ternyata suka dengan lelaki yang sulit didekati. Mereka tertantang ingin menaklukan. Mungkin ini wujud dari emansipasi, di mana para wanita justeru bergerak lebih aktif.

Janu masih saja asyik bernyanyi saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Lelaki itu menepikan mobil di depan sebuah mini market. Jemarinya meraih benda pipih itu dan mulai membacanya.

'Mama ngundang kamu makan malam nanti. Bisa?'

Matanya terbelalak saat membaca pesan itu. Dari Nadine.

Oh My God! Kenapa Janu bisa lupa kalau sedang melakukan pendekatan dengan Nadine. Dia bahkan sudah bertemu dengan orang tuanya dan mengatakan serius dengan putri mereka. Sekalipun dia belum menyatakan cinta dengan gadis itu.

'Oke. Nanti saya datang,' balas Janu.

'Beneran loh ya. Jangan PHP.'

'Iya. Memangnya mama kamu masak apa.'

'Ada aja. Kamu pasti suka.'

'Nanti saya telepon. Ini lagi di jalan.'

Setelah membaca pesan Nadine, Janu keluar dari mobil dan masuk ke mini market untuk membeli minuman kaleng.

Tiba-tiba kepalanya menjadi sakit karena menyadari sesuatu hal. Saat melihat kata-kata PHP tadi di pesan Nadine, laki-laki itu merasa telah melakukannya, mempermainkan hati dua wanita, sekaligus memberi harapan palsu.

Janu, sepertinya julukan kamu sudah bukan lagi si dokter dingin yang cuek pada wanita. Namun, sudah berubah menjadi seorang playboy. Kini laki-laki itu menyadari bahwa dia telah menebar pesona kepada banyak wanita, dengan cara sendiri.

Lagu Buaya Darat milik Maia pun mengalun syahdu di dalam mini market itu. Entah itu suatu kebetulan atau tidak, Janu merasa tersindir saat mendengarnya.

Hello Dr. JackWhere stories live. Discover now