14. Lamaran

1.7K 97 3
                                    

"Jangan mempermainkan perasaan wanita."

Janu terngiang kembali nasihat itu. Setelah dia menceritakan kejadian hari itu, mamanya meminta untuk memilih salah satu, Nadine atau Rani.

Pada akhirnya, Nadine yang menjadi keputusan akhir. Janu sudah terlanjur menemui orang tua gadis itu. Lagipula perasaannya kepada Rani mungkin hanya sebatas suka. Buktinya justeru Nadine yang dia sentuh secara fisik.

Janu memang sudah keterlaluan, mempermainkan hati dua orang gadis. Namun apa daya, semua sudah terjadi. Semoga Rani bisa menerima.

Janu mengaktifkan ponsel yang mati karena kehabisan baterai. Kemarin malam dia hendak pergi ke rumah Nadine. Tiba-tiba saja ada panggilan dari rumah sakit yang memintanya datang karena ada pasien. Setelah selesai, laki-laki itu langsung pulang ke rumah karena hari sudah larut, lalu tertidur karena kelelahan.

Nadine pasti kecewa. Namun, Janu akan menjelaskannya nanti. Secepatnya, sebelum terjadi kesalah-pahaman di antara mereka. Setelah sarapan dia bergegas berangkat kerja. Untunglah hari ini mamanya tidak terlalu bawel. Jadi semua berjalan lancar tanpa banyak pertanyaan.

Sesampai di rumah sakit, Janu bergegas menuju poli dan menyelesaikan pekerjaan. Pukul tiga sore semuanya beres. Lelaki itu melirik jam tangan. Masih ada waktu dua jam sebelum Nadine pulang kerja. Dia berencana akan menjemput gadis itu dan mengajaknya makan malam.

Sambil menunggu waktu, Janu memutuskan untuk berjalan-jalan mengitari beberapa ruangan yang belum sempat disurvei selama ini.

"Dokter mau ke mana?"

Beberapa orang menyapa Janu saat berpapasan. Dia hanya menunjuk ke arah depan, tak menjelaskan ke mana tujuannya. Hingga lelaki itu tiba di ruang rawat inap paling ujung, untuk pasien asuransi pemerintah dengan kelas yang paling rendah.

Melihat dalam satu ruangan ada banyak ranjang berderet membuat Janu miris. Berbagai jenis penyakit bercampur baur menjadi satu. Berbeda dengan pasien VIP yang menginap dengan fasilitas yang lengkap. Hidup kadang-kadang memang seperti itu, tak semua orang beruntung mendapatkan kenyamanan.

"Dokter Janu?"

Seseorang memanggilnya. Janu menoleh dan mendapati seraut wajah cantik sedang menatapnya, Rani.

"Hai," jawabnya kaku.

"Kenapa di sini? Ada pasien? Tadinya bukannya sudah visit?" tanya gadis itu penasaran.

Janu mendelik lalu berkata, "Saya cuma jalan-jalan, ngeliatin beberapa ruangan."

"Oh, saya kiran ada apa. Biasanya jam segini sudah pulang."

Rani menutup mulut karena keceplosan saat berbicara. Jadi ketahuan kalau selama ini dia diam-diam menguntit lelaki itu.

"Dokter Rani mau ke mana?" Janu balik bertanya karena agak heran dengan sikap gadis ini.

"Mau pulang. Bye, Dokter!" ucap Rani seraya membalikkan badan.

Janu menatapnya dari kejauhan, ingin mengucapkan sesuatu tapi urung. Perpisahan mereka terjadi begitu saja. Rasa bersalah itu masih ada, tetapi mungkin saat ini dia lebih baik diam.

Rani pasti masih terluka, itu terlihat dari raut wajahnya yang muram. Akhirnya Janu berjalan menuju parkiran dan melajukan mobil menuju kantor sang pujaan hati. Sepertinya dia akan mampir sebentar membeli sesuatu untuk Nadine.

***

Nadine terbelalak saat melihat siapa yang duduk di depan menunggunya. Janu langsung berdiri saat melihat sang kekasih keluar dari ruangan.

"Aku ... jemput kamu," ucap Janu terbata. Dia malu karena ada beberapa orang yang sedari tadi menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Tumben," kata Nadine. Sengaja berpura-pura cuek padahal dalam hati senang.

Hello Dr. JackWhere stories live. Discover now