10. Janji

1.7K 90 4
                                    

Dua laki-laki itu duduk santai di teras sembari berbincang ringan mengenai apa saja seputar kehidupan sehari-hari. Sesekali mereka tergelak jika ada topik pembicaraan yang lucu. Janu pintar sekali mengambil hati Raka.

"Nak Janu. Kamu benar-benar serius dengan Nadine?" tanya Pandu.

"Serius, Om," jawab Janu cepat.

"Om, memang agak ketat sama Nadine, karena dia anak perempuan. Selama ini dia belum pernah ngenalin siapa pun sama kami. Kamu yang pertama kali dibawanya ke rumah."

Pandu menatap menatap Janu lekat. Ada harap dari hatinya bahwa suatu saat, Nadine akan berjodoh dengan lelaki baik-baik.

"Iya, Om."

Janu menjawab dengan tegas. Sepertinya dia lupa, bahwa tadi baru saja menjalin hubungan dengan Rani.

"Kalau begitu, gak usah lama-lama. Om gak suka pacaran atau ya ... yang seperti itulah."

Janu mengangguk. Dia mengerti, bahwa jika berada di posisi yang sama dengan Raka, mungkin dia akan melakukan hal yang sama.

"Saya serius sama Nadine. Cuma perlu minta waktu. Kami baru kenalan. Maunya pendekatan dulu. Orang tua saya juga belum kenal Nadine. Jadi, baiknya pelan-pelan ya, Om," ucap Janu membalas tatapan wajah tua itu.

Raka tersenyum saat mendengar ucapan Janu. Dia percaya bahwa laki-laki dihadapannya ini anak baik dan tidak akan mengecewakan putrinya. Nadine itu gadis yang rapuh. Sehingga sedikit saja ada luka, itu bisa meruntuhkan hatinya.

"Saya pamit pulang, Om." Janu berdiri dari kursinya.

"Silakan."

"Emm ... mau izin juga, apa boleh besok pagi saya jemput Nadine. Dia gak boleh terlalu capek. Saya kan pernah merawatnya. Jadi sedikit banyak tau kondisinya."

"Oh, boleh-boleh. Pagi-pagi, ya. Dia kan gak boleh terlambat. Nanti bisa ditegur."

"Pasti, Om. Saya juga sama, harus absen pagi. Kalau pulang mungkin gak bisa antar. Soalnya kadang sampai sore, saya masih ngeliat pasien di ruangan."

"Ya, kamu atur aja. Nanti bicarain aja sama dia."

Mereka berdua bersalaman. Setelah memenuhi undangan makan malam keluarga Nadine untuk yang kedua kalinya, dia memilih untuk segera pulang.

Memang ini hanya makan malam biasa yang sifatnya kekeluargaan. Namun, kali ini semua lengkap karena Nabil juga ikut. Suasana di ruang makan tadi juga nyaman dan tenang, tidak horor seperti sebelumnya.

Masakan Ratih memang enak, mirip dengan masakan mamanya sendiri. Janu merasa beruntung jika mereka berjodoh. Dia akan memiliki istri cantik ditambah mertua yang baik.

Sesampainya di rumah, Janu segera masuk kamar. Lelaki itu meletakkan tas dan ponsel di meja, lalu mencuci wajah dan turun ke ruang keluarga. Mama dan papanya sedang asyik menonton.

"Dari mana, Nak?" tanya Sarah dengan penuh selidik.

"Rumah teman, Ma. Diundang makan malam." Janu memilih duduk di karpet sembari melihat acara apa yang ditonton mamanya.

"Siapa?"

"Nadine."

Mendengar itu, Sarah terbelalak kemudian menutup mulut, tak menyangka saat sang putra menyebut nama seorang wanita. Wanita paruh baya itu langsung duduk. Dia siap meluncurkan sejuta pertanyaan.

Sarah masih ingat sekali, saat Janu memperkenalkan Nadine sebagai calon istri. Dia langsung suka karena sikap gadis itu begitu sopan, terutama saat bersalaman.

"Nadine itu yang ketemu di butik, bukan?"

"Iya, Ma."

"Kamu udah kenalan sama keluarganya?"

Hello Dr. JackWhere stories live. Discover now