6. Perjodohan

2.4K 110 5
                                    

'Ada stalker ternyata.'

Begitu isi pesan yang masuk di ponsel Nadine. Gadis itu melihat berkali-kali, memastikan apa memang benar Janu yang mengirimnya. Dia masih mencoba menerka apa maksud dari lelaki itu.

"Ehem."

Nadine menoleh saat mendengar suara Niken, rekan kerjanya sesama teller.

"Sstttt ... diem, Kak," bisik Nadine.

"Beresin kerjaan dulu, baru chatting-an," tegur Niken.

Sikap Nadine itu kalau sampai terlihat atasan mereka itu bisa bahaya. Apalagi kalau salah menghitung uang nasabah, bisa nombok mereka.

"Siapa sih yang nge-chat? Dari tadi senyum mulu," tanya Niken.

"Dokter Janu."

Nadine menghentikan aktivitasnya kemudian menggeser duduk agar berdekatan dengan Niken.

Mendengar nama Janu disebut, Niken juga ikut menghentikan aktivitasnya. Wanita itu meletakkan pulpen dan kertas, lalu menggeser mouse yang berada di dekat layar monitor supaya tidak menghalangi tangan.

"Beneran itu dari Janu?" Bisik Niken.

"Iya, Kak."

"Mana? Gue liatin, dong."

Nadine membuka ponselnya, lalu menyentuh aplikasi hijau dam men-scroll ke bawah. Pesan Janu ada di barisan ke sepuluh dari chat yang masuk di Whatsapp-nya hari ini. Pesan-pesan yang lain malah belum sempat dia baca. Biasanya, notifikasi yang paling sering berbunyi dari percakapan di grup. Selebihnya adalah chat dari mama atau adiknya.

"Nih!" Dia menunjukkan.

Niken mengintip. "Maksudnya apa stalker?"

"Entah."

"Emang lu ada kepo-in dia?" tanya Niken penasaran.

"Perasaan gak, deh," jawab Nadine bingung.

"Apa mungkin dia sengaja bilang gitu. Biar ada bahan omongan sama lu," duga Niken. Jarinya mengetuk meja berkali-kali.

Nadine mengangkat tangan di atas bahu.

"Yaudah bales, dong. Jangan diem aja. Sayang, loh. Dokter unyu-unyu. Pasti dia nungguin."

Niken menunjuk ponsel, menyuruh Nadine untuk segera membalasnya. Justeru dia yang menajadi gemas karena gadis itu menyia-nyiakan kesempatan.

"Tapi bales apa, Kak? Gue bingung." Dia mengutak-atik ponselnya.

"Apaan, ya? Gue juga bingung."

Mereka sibuk menerka kata-kata apa yang tepat untuk membalas pesan itu. Hingga tidak menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di belakang dan ikut menyimak.

"Ehem." Kali ini suara batuknya berasal dari suara lelaki.

Nadine terkejut. Hampir saja ponselnya terlempar. Wajah mereka pucat pasi. Nampak tubuh menjulang Pak Beni berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajah angkernya membuat karyawan di cabang ini ketakutan. Ditambah sikapnya yang sangat dingin dan kurang empati.

"Sudah selesai pekerjaan kalian? Ini sudah hampir jam lima sore. Sebentar lagi kantor tutup," kata lelaki itu tegas.

"Eh, iya dikit lagi, Pak."

Niken berpura-pura mengambil mouse yang tadi dipindahkannya.

"Jadi, kenapa malah mengobrol?"

Suara cool Pak Beni kembali menggema. Karyawan yang lain berbalik arah melihat mereka. Beberapa orang tersenyum geli karena sudah pernah merasakan hal yang sama.

Hello Dr. JackWhere stories live. Discover now