14. Prabumi dan Semesta Barunya

Start from the beginning
                                    

"Ayah kamu ganteng 'kan, Bim?" Sorot mata Ibu melayu. 

Bima mengangguk. 

Kalau sudah begini, Bima hanya akan diam menemani Ibunya memandangi foto itu. Malam selalu tahu, Bima dan ibunya tengah merindukan sosok yang sama. 

****

Empat hari lebih Bima tidak menemukan Army di kampus. Ketika jam pelajarannya berlangsung pun, Nanang bilang kalau Army masih sakit. Cukup sudah. Bima tak bisa membohongi diri dan menahan jemarinya untuk menghubungi Army lebih lama lagi. 

Pukul tujuh pagi sebelum ke kampus, ia menekan tombol panggilan di layar kontak bertuliskan 'Army Gorila Ilkom'.

Panggilan pertama tak ada jawaban. Panggilan kedua hasilnya pun sama. Barulah di panggilan ketiga telepon Bima dijawabnya. 

"Napa?" serobot Army di seberang sana. 

"Lo dimana?" 

"Di rumah." 

"Ke kampus nggak hari ini?"

"Ke kampus, kok. Ini mau jalan." 

"Kaki lo udah mendingan belum?" 

"Udah. Kenapa emang? Nanya-nanya mulu lo kayak wartawan." 

Mendengar celetukan itu, bibir Bima seketika melengkung. Ia senang Army kembali. 

"Naik apa ke kampus?" tanya Bima yang kini sudah di atas motornya. 

"Di anterin bokap gue naik mobil." 

"Kalau udah mau sampai kampus dan turun dari mobil, bilang gue." 

"Iya, iya. Bawel, ah. Udah ah gue berangkat. Bye." Telepon ditutup Army. 

Gadis itu langsung melempar ponselnya ke dalam tas. Argh! Gue nggak suka banget kalau udah kayak gini! rutuknya menggema dalam hati. Sensasi aneh yang timbul dari jantungnya mengakibatkan perutnya melilit dan wajahnya menghangat. Reaksi macam apa ini? Yang datang tiba-tiba mengobrak-abrik hatinya. 

"Yuk, Kak." Ayah menuruni tangga, menyambar kunci mobil di atas meja ruang tamu, lalu pergi ke garasi. 

Army dibantu Koko berjalan sampai akhirnya masuk ke mobil. 

Sepanjang perjalan, ocehan pembawa acara radio pagi mendominasi suasana. Sayangnya, hal itu tak bisa menyingkirkan kebisingan di hati Army. Dua suara berlomba jadi pemenang yang akan menentukan pilihan Army. Apakah Army akan menuruti perintah Bima? Atau mengabaikannya? 

"Kamu yakin nggak apa-apa, Kak?" Kini Ayah bersuara. 

"Nggak apa-apa, Yah. Army bosan di rumah terus."

"Jalannya gimana?" Nada bicara Ayah sarat kecemasan. 

Army terkekeh, "Army punya banyak pasukan, kok, Yah. Tenang aja." Padahal, ia mengutuk dirinya sendiri lantaran baru kepikiran hal itu saat ia memutuskan nekat masuk kampus.  Argh! Mati saja lah kau, Army. Pasukan dari mana, teman satu-satunya saja, si Nanang, tak membalas pesannya dari semalam.

Mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi kakinya, Army pun mengirim Bima pesan singkat ketika mobilnya memasuki area kampus. Tak sampai satu menit, centang biru menggantikan centang abu-abu.

Mobil berhenti mulus di depan area parkir fakultas yang mulai ramai. Baru saja Army membuka pintu mobil, kepala Bima menyembul secara tiba-tiba dari luar. 

"Ya ampun! Ngagetin aja, lo!" Army tersentak.

"Pagi, Om." Bima menyapa ayahnya Army yang bingung di bangku kemudinya. 

ARMY (Completed)Where stories live. Discover now