Part 18

34.6K 1.5K 16
                                    

        

-----

        Waktu berjalan sangat cepat. Tidak terasa, kandunganku membesar dan sudah memasuki bulan ke-8, Mas Aris belum juga pulang dari pelatihan nya tetapi dia sering mengabariku melalui telepon ataupun pesan singkat. Sepertinya aku harus mulai membiasakan diri untuk menjalin hubungan jarak jauh. Saat ini aku di rumah Mama Rina, beliau terus menawariku untuk tinggal bersamanya tapi aku baru menerimanya. Bukan karena apa-apa, aku hanya mengikuti saran Mas Aris sebagai suamiku yang mengatakan kalau aku tidak boleh terlalu lama meninggalkan asrama karena akan mendapat teguran dari pimpinan Mas Aris. Jadilah aku baru menyanggupi permintaan Mama Rina baru-baru ini disaat kandunganku memasuki bulan kedelapan.

                "Sayang?" suara milik suamiku terdengar dari hadapanku, ingin sekali memeluknya tapi terhalang oleh layar laptopku. Terlihat di video call Mas Aris tersenyum mencoba menghilangkan wajahnya yang kelelahan. Tetap saja, aku tau dia sedang lelah.

                "Iya..." sahutku. Mas Aris mengisyaratkanku untuk mendekat ke arah webcam.

                "Bagaimana Baby B kita?" Dia menatapku dengan penasaran. Aku hanya mengelus perutku dan menjawab, "Baik, Alhamdulillah. Aku dibantu Mama untuk merawat dia. Makanya, Ayah cepat pulang biar bisa ngerasain dedek lagi aktif di dalam perut." Aku menjulurkan lidahku sekilas, bermaksud meledeknya.

                "Iya, nanti Ayah pulang kok. Yang kangen dedek atau Bunda nya, ya?" Mas Aris mengulum senyumnya, memperlihatkan lesung pipinya yang membuatnya seribu kali lebih tampan!

                "Yang kangen dedek kok! Iya 'kan, sayang?" Aku melihat perutku dan tersenyum tipis, aku rindu banget-banget-banget sama kamu, Mas! Teriakku dalam hati.

                "Kalau begitu, kamu istirahat aja, ya. Ini sudah larut malam, enggak baik buat kesehatan kamu tidur jam segini." Mas Aris melambaikan tangannya kepadaku sebelum dia memutuskan untuk mengakhiri video call.

----

AUTHOR POV

                Aris mengakhiri panggilan dari video call bersama istrinya dan berjalan ke luar dari mess-nya. Tidak sengaja, dia mendengar pembicaraan pelatih yang terkenal dengan aura menyeramkan, seorang prajurit Kopassus berpangkat Mayor. Pembicaraan itu terdengar mencurigakan, mengingat ini sudah larut malam ditambah dengan Mayor Aji  yang mengecilkan volume suaranya.

Samar-samar, Aris mendengar, "Siap laksanakan, Bos. Masyarakat sudah terpancing dengan omongan dari anggota kita, barang-barang juga lancar masuk, Bos. Memang, bodoh sekali mereka tidak mengetahui kalau penyebab bentrokan warga yang tak kunjung berakhir itu ulah orang dalam."

Deg! Aris mendengar itu semua. Ada seorang pengkhianat di tempat pelatihan ini, jadi sia-sia kah usaha para petinggi TNI mengusut permasalahan ini jika biangnya ada di sekitar mereka? Dengan kesal, Aris mendekati seseorang dengan baret merah itu. Entah apa yang dipikirkan oleh Aris saat ini, dia hanya berdiri di belakang sang Mayor, menatap dengan kilat amarah dan rahang mengeras, tidak menyangka bahwa pelatihnya terlibat dengan jaringan mafia hitam. Tidak ada sesuatu yang aneh selama berbulan-bulan ini, sampai akhirnya Aris menyadari mengapa pelatihnya itu terkesan cuek dikala Brigjen Waluyo beserta kawan mendiskusikan permasalahan ini, dia akhirnya mengerti.

                Sadar sedang diperhatikan,  Aji berucap dengan pelan pada seseorang di seberang telepon, "Baik, bos. Sekarang saya tutup telepon dahulu, ada sedikit masalah disini." Setelah itu, Aji berbalik badan dan mendapati perwira muda yang berbakat selama pelatihan sedang menatapnya dengan penuh kengerian.

My Life Partner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang