Angkasa menoleh ke arah Raisa. Terulas senyuman tipis di bibirnya, membuat Raisa menoleh. “Seberat apa sih masalah lo, sampai Ketua Gangster kayak lo bisa nangis? Hm?” tanya Raisa melirik Angkasa. “Atau jangan-jangan, lo bener nangisin gue ya?” 

“Jangan ke-pedean,” sahut Angkasa. “Gue ngga nangisin siapapun, dan gue ngga nangis,” kata Angkasa berbohong. 

Sebenarnya Angkasa memang menangis di perjalan ke arah rumah Raisa. Dia menangisi Takdir yang seakan-akan tidak berpihak kepadanya. Menangis karena melihat Raka dalam keadaan seperti tadi. Angkasa paling benci, benci ketika Raka menyebut nama kedua orang tuanya. Bagi Angkasa, mereka sudah mati semenjak meninggalkan Angkasa. Walaupun mereka kembali nanti, Angkasa juga tidak akan pernah menganggap mereka ada. Angkasa menahan luka yang begitu dalam di dirinya. Luka yang amat sulit dia hilangkan, dan sakit yang akan selalu menyakiti dirinya. 

“Gue ngga ngelarang lo nangis. Laki-laki berhak menangis. Negara kita ngga punya hukum, tentang dilarang menangis untuk laki-laki,” kata Raisa menatap Angkasa. “Seberat apapun masalah lo, lo boleh nangis, lo boleh istirahat, tapi lo ngga boleh untuk nyerah. Ya, walaupun gue ngga tau masalah lo apa, Angkasa, tapi....” 

“Adik gue kangen mereka. Adik gue lagi sakit, dia minta untuk ketemu mereka. Raka,  adalah adik gue. Dia udah 4 tahun belum ketemu mereka, sedangkan mereka pasti ngga akan temui Raka, dan pulang ke rumah,” kata Angkasa menyela ucapan Raisa. “Dulu gue fikir mereka adalah hidup gue. Gue ngga bisa tanpa mereka, kalau mereka pergi gue akan mati. Ternyata salah, gue masih bisa hidup sampai sekarang,” kata Angkasa kembali. 

“Mereka itu, orang tua lo?” tanya Raisa menebak. Pasalnya dia sudah tau tentang keluarga Angkasa dari teman-teman nya. Tentu saja, sehari tanpa membicarakan Angkasa, kelas terasa sepi. Apalagi Angkasa adalah anak paling hits yang selalu di ketahui pergerakan nya. 

“Raka itu masih kecil, Angkasa. Wajar kalau dia masih pengen dekat dengan orang tuanya. Seharusnya lo bilang baik-baik sama Raka, ngga perlu marah-marah sama dia. Lo temenin dia, kasihan dia. Seiring berjalan nya waktu, Raka juga akan lupa. Bukan nya lo malah kabur dan ninggalin Raka sendirian di rumah, itu malah membuat dia semakin kangen sama orang tuanya,” kata Raisa tersenyum simpul kepada Angkasa. 

Tanpa aba-aba, tangan nya tergerak mengusap air mata yang berada di pipi Angksa. “Lo mirip sama Mama gue,” Angkasa meniup pipi Raisa. “Ikut ke rumah gue mau? Siapa tau kalau Raka ketemu sama lo, dia ngga akan lupa,” ajak Angkasa kepadanya. 

Raisa mengangguk setuju atas ucapan Angkasa. Sontak laki-laki itu menggenggam lengan nya, dan mengajak nya berdiri. “Sabar dulu dong. Pamit sama Mama, nanti dia khawatir,” kata Raisa bangkit. 

*** 

“Kenapa?” tanya Raisa ketika matanya beradu dengan mata Angkasa di kaca spion. “Angkasa. Kenapa sih? Ga usah lihat gue kayak gitu!! Muka lo serem!!” ujar Raisa memukul punggung itu. 

Angkasa menyeringai ketika melihat Raisa blushing dari tempatnya. Helm yang di pakai oleh Raisa adalah helm nya, sedangkan Angkasa tidak memakai helm. “Lo kan udah jadi milik gue. Berarti sekarang kita harus ngomong aku-kamu ya?” kata Angkasa. 

Raisa menahan senyuman nya di balik punggung lebar Angkasa. “Boleh aku panggil kamu, Caca?” tanya Angkasa. Raisa yang mendengar itu mengeryit, dan menatap Angkasa. “Kata Hafiz, kalau ada orang yang spesial, dia harus di panggil dengan nama spesial. Nama Caca, adalah nama yang terbesit dalam diri aku, untuk kamu,” kata Angkasa. 

ANGKASA (END)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें