Bagian sebelas - Maaf!

Începe de la început
                                    

Sebenarnya Azka ingin segera mengakhiri sandiwara ini dan kembali ke Jerman untuk melanjutkan kisah hidupnya.

“Sudah lama?” Jaka yang langsung duduk di depannya. Ia melihat perbedaan di mata Azka, sorot mata yang penuh dengan amarah.

“Lumayan, Pah,” jawabnya lemah.
Tidak ada lagi basa-basi apa pun. Jaka sangat merasa bersalah, ia tidak bisa membantu banyak atas keputusan yang telah dibuat istrinya.

“Maafkan, Papah,” ucap Jaka, Azka kembali menatap. Azka tahu bahwa Jaka telah menentang permintaan Shopia, dan Azka tahu betul bahwa Shopia sangat keras kepala. Namun tetap saja hatinya teriris dengan keadaan dirinya, tentang hidup yang tidak sesuai harapan yang telah disusun sedemikian.

Azka tidak menjawab apa pun, toh jika Azka memaafkan jelas hatinya tidak sama sekali memaafkan hal konyol ini. Karena bagaimana pun kata maaf tidak akan mengubah keadaannya sekarang. Ia akan tetap menjadi suami dari perempuan yang sama sekali tidak dicintainya.

“Azka.” Jaka bersikeras meminta maaf pada putranya, sorot mata itu seakan penuh harapan. Tapi Azka tetap berpihak pada amarahnya, ia pun tidak tahu kapan bisa berdamai dengan takdir-Nya.

“Baiklah, Papah paham.” Jaka mengalah, ia tidak ingin memperkeruh suasana hati Azka yang akan berimbas buruk pada pekerjaan di rumah sakit ini.

“Jadi tugas saya, apa?” Azka yang mulai bersuara kembali.

“Kamu, kan sebagai dokter spesialis. Papah sudah kasih instruksi pada perawat, nanti kamu akan dihubungi oleh mereka,” jelas Jaka.

“Baiklah.”

Suatu kebahagiaan bisa kembali ke Indonesia dan bertugas di rumah sakit milik keluarganya, meskipun rumah sakit swasta. Tapi hal yang menyiksa itu berdampingan sehingga tidak rasa syukur apa pun untuk diucapkan, hanya umpatan bagi wanita yang membuat Azka bersikap antagonis.

“Apa kabar dengan, Najwa?”

“Entahlah.” Azka kembali berlalu meninggalkan ruangan tersebut. Ia sudah muak jika mendengar nama itu, nama yang membuat Azka tidak bisa menahan amarahnya.

***

Sudah pukul dua siang, Najwa pamit pulang. Ia masih dengan rasa kecewanya, karena bagaimanapun Azka tidak akan menjemput Najwa, dan hal itu harus ia sembunyikan dari kedua orang tuanya.

“Bu Najwa, dijemput?”

“Suami masih ada jadwal operasi, jadi saya pulang sendiri.”

“Mau bareng, Bu?”

“Tidak usah, Bu, saya juga lagi ada keperluan dulu.”

“Ya sudah, saya duluan.” Najwa hanya tersenyum membalas ajakan dari salah satu guru di sini. Karena bagaimanapun ia tidak boleh berterus terang tentang keadaan rumah tangganya.

Najwa langsung memesan ojol lagi seperti tadi pagi, mungkin saat hari libur sekolah Najwa harus ke rumahnya dan membawa motor itu, sayangkan naik ojol boros ongkos juga. Najwa menghela napas panjang, ia masih duduk di halte sekolah menunggu kedatangan ojol tersebut.

Tidak lama ojol itu datang dengan permintaan maaf, karena kemacetan jalan. Dengan ramah Najwa pun memaafkan. Keduanya langsung menuju tempat tujuan.

Rumah masih sepi, mobil pun belum terparkir itu artinya Azka belum pulang. Syukurlah paling tidak Najwa bisa istirahat dulu sebelum beradu mulut lagi dengan suaminya itu. Sama sekali tidak ada rasa rindu sedikit pun, yang ada hanya amarah dan kecewa ketika menatap tatapan Azka.

Sesekali Najwa memandang foto pernikahannya, ada dua karakter yang terlihat jelas. Najwa yang terlihat bahagia dan Azka yang terlihat penuh dengan beban. Namun jika dilihat-lihat wajah Azka sedikit berbeda, terlihat lebih tajam dari laki-laki yang dikenalnya saat pertama kali di rumah sakit.

Jelas saat itu sikapnya begitu santun, tatapan yang lembut apalagi ucapan yang terlontar dari mulutnya itu membuat Najwa langsung jatuh hati. Najwa begitu merindukan sikap itu, sikap yang jelas membuat dirinya matang untuk menerima tawaran untuk meminangnya itu.

Air mata itu tak terasa berlinang begitu saja, andai pun suaminya bisa berubah, mungkin pernikahan ini menjadi pernikahan yang paling didambakan siapa pun. Najwa memeluk erat foto pernikahan itu, dan tanpa disadari Najwa ikut terlelap di kursi ruang tamu.

Sudah hampir pukul setengah tiga sore, dan Najwa masih menikmati tidurnya dengan mata sembab, sementara Azka baru saja pulang dari rumah sakit. Ia cukup terkejut dengan wanita yang tertidur di kursi dan memeluk erat foto pernikahannya. Jelas terbesit rasa bersalah pada wanita itu.

Wanita yang menjadi korban keegoisan dan ketidakadilan, Azka pun mengerti bagaimana diposisinya tetapi ini bukan pernikahan yang sesungguhnya.

Jelas Azka pun harus tahu diri, ini hal yang dilarang dalam agama. Daripada ia menjerumuskan wanita itu pada lubang dosa, lebih baik Azka membuatnya kecewa dengan semua umpatannya.

“Maaf, kamu akan tahu saat waktunya tiba. Saya yakin kamu kuat dan sabar,” bisik Azka dari kejauhan. Ia pun langsung menuju kamarnya tanpa membangunkan wanita tersebut.

.

Jangan lupa krisarnya.

Teti Nurhayati

Liku Najwa (COMPLETE)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum