“Anak mu ini loh,” Riza mencubit hidung Raisa. “Besok kamu harus cuci darah. Papa dan Mama akan mengantar kamu ke rumah sakit. Dokter bilang jadwalnya jadi tiga kali satu Minggu.” 

“Jangan besok deh, Pa. Lusa aja.” Kata Raisa memeluk tubuh Riza dan menangis di bahu turun itu. 

“Anak Papa kenapa nangis?” Riza mengusap punggung kecil Raisa. “Kenapa nangis, Nak? Raisa kenapa? Beri tau Papa sayang, kamu kenapa? Hei, ada yang sakit?” 

“Raisa takut umur Raisa ngga lama lagi, Pa.” Raisa mengeratkan pelukan itu dan menangis sesgukan. “Raisa takut ga bisa sama Mama dan Papa terus, Raisa takut kalau ngga bisa banggain kalian, Raisa minta maaf,” lirihnya lagi. 

“Raisa selalu nyusahin kalian untuk bayar rumah sakit dan cuci darah. Raisa minta maaf, Pa. Raisa belum bisa bahagiain kalian. Raisa ga tau kapan Raisa akan pergi, Raisa minta maaf sama kalian. Raisa takut kalau semua pengobatan nya akan percuma. Raisa ga mau,kita udah keluar uang banyak, tetapi Raisa ngga sembuh. Raisa takut, Pa.” Raisa menarik nafas dalam.

“Umur Raisa udah ga lama, Pa. Dokter bilang Raisa akan mati dalam beberapa bulan lagi. Untuk apa kit harus ke rumah sakit, kalau hasilnya Raisa akan mati juga, Pa.” 

“Ssshhhh,” Riza dan Alina mengelus punggung Raisa bersama. “Dokter bukan Tuhan. Dokter gak bisa nentuin umur manusia. Itu bukan tugas Dokter. Dokter hanya membantu Raisa untuk sembuh.” Kata Riza. 

“Kata siapa Raisa gak sembuh?” tanya Alina. “Jangan bicara aneh-aneh. Mama gak suka Raisa bicara seperti itu. Mungkin sekarang Raisa belum sembuh. Belum nak, bukan ngga bisa sembuh. Papa dan Mama akan berusaha buat Raisa sembuh, dan kita akan cari pendonor Ginjal untuk Raisa. Hanya saja ini perlu waktu, Nak. Sebelum nunggu pendonor, Raisa harus cuci darah, supaya hasil ketika Raisa sembuh, itu sempurna. Raisa ngga akan sakit lagi.” Kata Alina mengelus kepalanya. 

“Inget ucpan Papa, kalau suatu saat kamu akan sembuh dan bisa seperti yang lainnya,” balas Riza. “Bujuk Tuhan, supaya Tuhan mau membeerikan kesembuhan untuk Raisa. Raisa jangan menyerah, kalau Raisa menyerah, usaha nya akan sia-sia, Nak.” 

“Kalau Raisa pergi?” tanya Raisa menggigit kecil bibirnya. 

“Tuhan tau apa yang terbaik,” bisik Riza mencium pipi Raisa. “Raisa anak kuat. Semua anak Papa pasti kuat. Anak Papa tidak ada yang menyerah di tengah jalan. Kamu harus sembuh. Buktiin ke Papa kalau anak Papa, bukan anak yang lemah. Karena di manapun ada Raisa, berarti ada Papa, Mama, dan Bang Kevin, yang selalu mendukung Raisa. Jangan pernah iri kepada orang lain ya sayang,” katanya lagi. 

*** 

Angkasa mengumpat kesal berulang kali. Sedari tadi fikiran nya terus mengarah kepada Raisa, apalagi jantung nya terus berdebar tak beraturan. Semenjak pulang dari rumah Raisa, Angkasa kembali sekolah hanya untuk menaruh mobil, itupun dia memberikan nya kepada Satpam sekolah. Dia langsung kabur, meninggalkan Tas nya yang sudah dia titip kepada sahabatnya. 

Angkasa memang sering melakukan itu. Hanya saja dia terus menganggap sepele. Sepulang madol tadi, Angkasa langsung menjemput Raka pulang dari sekolahnya. Kebiasaan buruk Angkasa sudah dia lakukan sejak awal masuk SMA, Angkasa dengan berani madol dan melawan Guru. Sebenarnya Angkasa tau dia salah, hanya saja dia masih melakukannya. 

“Abang kenapa?” Raka menatap Angkasa yang sedari tadi bagaikan orang gila, memegang jantung nya, dan senyum-senyum sendiri. “Dada abang sakit? Mau ke rumah sakit?” tanya Raka. 

Angkasa menatap Raka dan duduk berhadapan dengannya. Mereka memang berada di Mansion Wiratama, rumah khusus keluarga mereka. Angkasa jarang ke rumah itu, dia biasanya pergi ke Apartment.

“Tadi Sekretaris nya Papa nelpon, Bang. Katanya Papa ngga akan pulang. Raka kangen sama Mama dan Papa, Bang. Mereka ngga kangen sama Raka ya?” tanya Raka pilu. 

Sudah kesekian kalinya, Raka berharap untuk bisa bertemu Papa dan Mama nya. Bila tidak bertemu, Raka berharap mendengar suaranya. Raka rindu. Rindu belaian seorang perempuan yang mengelus kepalanya tiap waktu. Raka rindu, dia rindu ketika di gendong oleh laki-laki yang senyuman nya persis seperti dirinya. Raka berharap mereka akan datang menemui nya, bersama, dan tidak akan pernah meninggalkan Raka kembali. 

Sedari kecil, Raka hanya bersama Angkasa. Dari dia balita, dan anak-anak, Raka hanya bersama Angkasa dan teman-teman Angkasa. Dia juga jarang berkomunikasi dengan keluarganya, untuk pulang saja, hampir beberapa tahun sekali, Raka baru bisa bertemu dengan mereka. Sekarang umur Raka beranjak 10 tahun, dia sudah 4 tahun tidak bertemu keluarganya. Raka hanyalah anak kecil, yang menjadi korban keserakahan orang tuanya. Bayangkan saja, seorang anak kecil yang sudah tidak bertemu orang tuanya selama 4 tahun. 

Angkasa berdecak. “Abang sudah bilang hampir tiap hari sama kamu!! Mereka itu ngga pernah sayang sama kita!! Jangan fikirin mereka terus!! Ga ada orang tua yang nelantarin anaknya sendiri, Raka!!” bentak Angkasa. “Kalau emang mereka sayang sama kita, mereka ngga akan pernah melakukan ini!! Mereka ngga akan buang kita seperti ini!!” 

“Hiks, mereka ngga buang kita, Bang. Mereka masih sayang sama kita,” cicit Raka menggigit bibir bawahnya, takut memancing amarah Angkasa. Walaupun Raka tau, Angkasa memang sudah marah kepadanya. 

“RAKA!!” bentak Angkasa. “JANGAN MEMBICARAKAN MEREKA!!” ancamnya. 

“Mereka orang tua yang ngga sayang sama anaknya!! Lupain mereka!! Mereka ngga akan balik ke rumah ini lagi!! Mereka lebih milih pekerjaan nya dari pada anak nya sendiri!!” ujar Angkasa. “Jangan bicarakan mereka di depan abang lagi!!”

Angkasa langsung meninggalkan rumahnya dan membawa laju motornya dengan kecepatan tinggi. Angkasa benci mereka. Dia hancur, hancur ketika Raka selalu memingatkan nya kepada kedua orang tuanya. Angkasa pernah di posisi Raka, hanya saja dia sudah lebih besar kala itu. Sedangkan Raka sudah dari bayi d tinggal mereka. 

Saat Angkasa sampai di Warsep, dia di sambut hangat oleh sahabatnya. “Gimana Bos pacaran nya? Lancarkan?” sahut Erick ketika melihat Angkasa menuruni motornya. 

“Angkasa, dapet cewek langsung di bawa kabur. Bukannya balik ke sekolah. Bu Endang nyariin lo terus tuh!!” ujar Robi. “Pingsan, di gendong, jangan-jangan di bawa ke hotel.” 

“Fikiran lo bener-bener ya, Rob. Ga ada otak!!” sahut Aan di akhiri tawa. “Gimana Bos? Lo suka sama dia? Cocok ngga?” tanya Aan bertele-tele. 

“Lo kenapa?” tanya Hafiz ketika Angkasa duduk di sebelahnya. “Ada masalah sama Raka? Dia minta apa sama lo? Temenin main?” tanya Hafiz kembali. 

“Bukan Raka, Fiz. Tapi si anak baru itu. Angkasa demen ama dia, habis anuan tadi di hotel,” kata Aan terkekeh kecil.

“DIEM ANJING!!” sahut Hafiz. “Lo kenapa, Sa? Ada yang buat salah sama lo? Cewek itu?” tanya Hafiz kembali. 

“Lo ga papa, Bos?” tanya Robi. “Ada masalah?” 

Mereka tau ketika wajah Angkasa terlihat kesal, dan emosi. Hanya saja Angkasa ya tetap Angkasa, pembawaan nya akan tenang, tetapi dingin dan menghanyutkan. Jika Angkasa kesal, rahang nya akan keras. 

“Sa? Lo kenapa?” sahut Hafiz kembali.

***

TBC.

ANGKASA (END)Where stories live. Discover now