43. Dokter Anisa

292 17 0
                                    

Dua hari berlalu. Entah dengan kekuatan apa Alya mampu menjalani hidup di negeri orang. Terpisah dari suami yang menjadi penyempurna kekuatannya. Tak mengenal siapa pun, semua karyawan di proyek pabrik tekstilnya tak ada satu pun yang mempedulikannya. Benar-benar sendiri.

Kali ini baru pertama Libra mengajaknya. Alya benar-benar seperti kehilangan arah tujuan hidupnya. Bahkan dia tak tahu di mana sekarang suaminya ditahan oleh polisi itu. Tak ada satupun barang-barang yang bisa dia gunakan untuk mencari informasi. Hpnya terjatuh dan hancur saat mengejar suaminya. Sepanjang hari dia berjalan kaki, mencari tempat berteduh. Tak ada satu pun mobil angkutan yang mau memberikan tumpangan kepadanya. Tak ada sedikit pun makanan yang mengisi perutnya. Sungguh. Perjalanan hidup yang begitu rumit.

Namun, meski begitu Alya tak pernah menyurutkan semangatnya untuk tetap berusaha mencari jalan keluar dari masalahnya itu. Teringat akan kata-kata almarhum ayahnya, tetap berhusnudzdzan kepada Allah meski ujian yang diberikan-Nya terasa sulit menurut kita. Rencana yang telah disiapkan-Nya insya'allah adalah yang terbaik.

"Laa haula wa laa quwwata illaa billah..."

Senja mulai turun. Adzan maghrib sayup-sayup mulai terdengar dari kejauhan. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Alya melangkahkan kakinya memasuki sebuah mushollah yang berada tak jauh dari tempatnya beristirahat. Satu menit. Dua menit. Alya mulai terlarut dalam kekhusyukan munajahnya di hadapan sang maha penciptanya. Tubuhnya benar-benar pasrah. Merasa tak ada artinya di hadapan-Nya.

"Assalamualaikum...."

Seseorang memegang pundaknya. Alya melihatnya.

"Waalaikumussalam."

Seorang gadis cantik berwajah separuh Indonesia menyunggingkan senyum yang begitu menentramkan jiwa.

"Where are you come from, doesn't it seem like a citizen of Singapore?"

Gadis itu bertanya lembut menggunakan bahasa inggris, bukan bahasa mandarinnya.

"Yes, I come from Indonesia."
"Can you speak of Indonesian language?"

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Mereka pun beromunikasi menggunakan bahasa Indonesia.

Entah dengan alasan apa gadis itu sebegitu penasarannya dengan latar belakang kehidupan Alya. Wajahnya yang asri itu tak mampu menghalangi Alya untuk menceritakan apa yang telah dia alami disini. Menjadi korban kesalahan yang tak tahu siapa dalangnya.

Sesekali gadis itu menghela napas berat. Meraih hpnya. Memencet tombol on, mencari beberapa nomor yang dapat membantunya melacak keberadaan suaminya. 

Beberapa saat kemudian, gadis itu membawa Alya menaiki mobil Inova donkernya. Mengitari jalan beraspal, melewati bermacam-macam toko, rumah makan, cafe, mall dan berbagai tempat orang mengembangkan profesinya sejauh mata memandang. Bangunan-bangunan yang megah juga kerlap-kerlip lampu yang menambah keindahan malam itu.

Sesekali gadis itu mengangkat telfon dan berbicara serius dengannya. Ternyata gadis itu adalah seorang dokter. Dokter Anisa Zahra, yang berkewarganegaraan Indonesia-Singapore. Dia tinggal di Indonesia, hanya saja saat ini dia sedang menyelesaikan penelitiannya tentang gejala dan proses penyembuhan kanker otak. Dari tatapan matanya, tutur bahasanya dan sikapnya terlihat sekali bahwa dia adalah tipe perempuan yang sangat baik dàn peramah.

Sepuluh menit berlalu. Mobil Inova berwarna donker itu bertengger di depan rumah megah bagai istana. Rumah dokter Anisa. Dia mengajak Alya masuk dan memberikan jamuan makan yang cukup mewah. Dia meminta Alya untuk melanjutkan ceritanya.

"Apa kakak tahu, kira-kira suaminya Alya di tempatkan di kantor polisi yang mana?"

Kak Alfin, kakaknya dokter Anisa yang ternyata salah satu anggota kepolisian Singapore.

"Ya... aku rasa aku tahu, dan aku yakin kalau dia ada disana."

Kak Alfin menjawab mantap pertanyaan adiknya. Sejurus kemudian mereka kembali meluncur menuju kantor polisi yang diarahkan oleh kak Alfin.

"Anisa, sebaiknya kamu saja yang menemani Alya, kakak tidak ingin mereka salah paham."

Dokter Anisa mengikuti kata-kata kakaknya. melangkah masuk. Menyapa beberapa polisi yang sedang bertugas dengan sedikit mengumbar senyum. Lalu memasuki koridor tempat berkunjung.

"Mister Tom, can you ask for a minute?”
(“Pak Tom, boleh minta waktunya sebentar?”)

Dokter Anisa menyapa petugas penjaga di koridor itu. Wajah serius itu menatap tajam dokter Anisa. Tanpa panjang basa-basi dia mengutarakan maksud kedatangannya.

"Who are you?” (Siapa kamu?”)
"I'm his friend and this is his wife.” (Saya temannya dan ini isterinya.”)

"TAHANAN 125". Ya. nama itulah yang terpampang pada kaos berwarna donker yang membungkus tubuh Libra. Wajahnya begitu teduh. Tak sedikit pun ada perubahan dengan bentuk wajahnya. Hanya postur tubuhnya yang berbeda. Dia semakin kurus. Tatapan Alya dan Libra telah kembali menyatu.

Getaran-getaran rindu yang membara dalam hati keduanya telah menyuruhnya untuk mendekati gadis mungilnya. Merasakan kehangatan cinta dan kasih dalam dekapan kekasih tercinta. Sebutir air mata melintasi pipi keduanya. Begitupun dokter Anisa dan Mister Tom yang diam-diam merasa terharu dengan kisah asmara mereka. Kesetiaan yang sangat agung dalam menjalin sebuah hubungan.

"Apa kau baik-baik saja sayang? Wajah kamu pucat, kamu sakit? Lalu kamu tinggal dimana? Kamu dengan siapa di sini?"

Pertanyaan itu muncul begitu saja dari Libra. Khawatir akan keselamatan gadisnya.

"Aku baik-baik saja mas, dan akan selalu baik-baik saja demi kamu."

Alya menyunggingkan senyum dari bibirnya yang merekah. Berusaha tegar dan kuat demi melihat orang yang sangat dicintainya tersenyum meski ia dalam musibah. Berusaha menjadi penguatnya. Agar tak berputus asa dengan maunah dari tuhan.

"Aku berjanji akan membuktikan bahwa kamu tidak bersalah mas."

Libra mengecup lembut dahi isterinya. Berusaha mengalirkan energi kekuatan dan kesabaran kepadanya.

"Terima kasih sayang... terima kasih atas pengabdianmu selama ini."

Bidadari Surga 2 (Tamat)Where stories live. Discover now