1. Ayah

835 49 3
                                    

Waktu pun terus berlalu, hingga tanpa terasa lantunan ayat-ayat suci al-qur’an yang menandakan bahwa waktu salat Magrib akan tiba sudah terdengar di telinga Alya.

Dengan berat hati, gadis itu melangkahkan kakinya, membawa serta kegelisahannya untuk pulang, karena dia yakin sang ayah pasti mengkhawatirkannya.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya Alya pun telah menginjakkan kaki di halaman rumah kecilnya.

“Assalamualiakum,” ucap Alya seraya mencium lembut tangan ayahnya.

Lalu, dia menyandarkan tubuhnya di sofa samping sang ayah duduk. Sesekali dia memejamkan mata, menarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya perlahan. Mengundang simpati sang ayah untuk bertanya tentang apa yang telah terjadi kepadanya.

“Alya … kamu kenapa, Sayang? Sepertinya ada masalah?” Ayahnya mulai angkat bicara.

Alya hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab.

“Alya … Ayah tahu bedanya antara Alya yang sedang punya masalah dan tidak.”

Ayahnya mencoba membujuk agar Alya mau cerita. Alya pun memeluk erat ayahnya dan menangis di pelukan sang ayah.

“Alya tolong jawab Ayah, Nak."

Suara ayahnya mulai berbeda, beliau ikut merasakan kesedihan Alya.

“Ayah ... Alya minta maaf, ya. Sampai saat ini Alya belum bisa bantu Ayah. Alya belum mendapat pekerjaan, Ayah.”

Alya makin terisak. Sang ayah melepas pelukannya lalu menatap lurus netra milik putrinya.

“Sudah, jangan menangis seperti ini. Apa yang telah kamu lakukan selama ini sudah membuat Ayah bahagia, Sayang. Bersabarlah, Nak,” ucap sang ayah, menenangkan.

“Tapi, Ayah, kalau keadaannya terus-terusan seperti ini bagaimana? Tabunganku sudah hampir habis, Ayah. Kalau tabunganku habis, bagaimana cara kita memenuhi kebutuhan kita, Ayah? Ayah pun perlu berobat untuk kesembuhan Ayah.”

Nada suara Alya kentara sekali menunjukkan bahwa gadis itu sedang putus asa. Ayahnya lalu mencoba untuk meluruskan persepsi anaknya yang keliru.

“Alya, kita ini hidup di bumi Allah, Nak," kata sang ayah memulai wejangannya.

"Jangan suuzan kepada Allah, Alya. Kamu menyangka bahwa dengan sulitnya kamu mendapat pekerjaan ini karna Allah sudah tidak sayang lagi sama kamu, kamu salah, Nak. Justru dengan hal inilah Allah menunjukkan bahwa Dia masih sayang sama kamu." Sang Ayah menggenggam erat tangan anak semata wayangnya, berusaha mengalirkan energi semangat untuknya.

"Dia ingin menguji sampai di mana batas kesabaranmu. Kalau kamu tidak sabar seperti ini Allah akan membenci kamu, Nak.”

Alya terdiam mendengar ucapan ayahnya. Air matanya pun mulai menitik sedikit demi sedikit. Ia menyesali perbuatannya.

“Alya ... yakinlah, Allah sudah menjamin rezeki hamba-Nya jauh sebelum hamba itu di lahirkan ke dunia. Kamu tidak boleh putus asa seperti ini. Yang penting kamu sudah berusaha dan bermunajah kepada-Nya, hasilnya pasrahkan kepada Allah. Urusan saat ini kamu belum dapat pekerjaan, mungkin besok atau lusa. Allah mempunyai banyak cara untuk memberi rezeki kepada hamba-Nya, karna terkadang meski tanpa bekerja pun hamba itu diberi rezeki oleh Allah,” ucap sang ayah penuh pengertian.

Alya tersenyum dalam tangis. Ia bahagia, karena memiliki ayah yang sangat bijaksana sepertinya.

“Selalu berhusnuzanlah kepada Allah, Sayang,” pungkas sang Ayah.

Alya memeluk ayahnya erat. Ia biarkan linangan air mata yang terus bercucuran dari sudut matanya membasahi pundak sang ayah.

Dia benar-benar bersyukur karena meski tanpa hadirnya seorang ibu di sisinya, dia masih ditakdirkan mempunyai seorang ayah yang sangat bijaksana.  Seorang ayah yang selalu menjadi penenang jiwanya di kala ia dilanda kekalutan, ayah yang selalu membimbingnya agar menjadi sosok perempuan sejati yang pantang menyerah dalam menghadapi setiap terpaan musibah yang ia alami, dan yang selalu ada dalam suka maupun dukanya.

Bidadari Surga 2 (Tamat)Where stories live. Discover now