Dia mengangguk pelan. Tak berani menatap mata gue, matanya beralih memandang televisi.

Lucu, ya. Dia datang ke sini bukan karena setulus hati ingin meminta maaf, tapi ada embel-embel membujuk gue supaya ikut menjemput Bulan. Miris. Kalau gue nggak berusaha mati-matian mematikan perasaan gue untuk dia, pasti gue akan mengiyakan. Asal dia bahagia. Akan tetapi, ceritanya sudah berbeda. Gue punya hak untuk menolak agar hati gue nggak sakit lagi, kan?

"Lo datang ke sana bukan sebagai sahabatnya, Lang. Lo datang ke sana sebagai Langit yang merindukan Bulan. Lagi pula, Bulan dan Langit sudah lebih dari cukup. Nggak perlu ada Army di dalamnya. Nggak perlu ada bocah ingusan yang ngintilin dua sejoli kemana pun mereka pergi. Kita bukan anak kecil lagi, Lang," ucap gue putus asa. 

Malam itu, bersama lampu jalan yang temaram dan gerimis yang datang tiba-tiba, kami tidak menemukan titik temu. Entah. Gue nggak tahu ke depannya kami bertiga akan bagaimana, tapi yang gue tahu, Bulan akan segera kembali ke pelukan Langit. Hal itu lebih dari cukup untuk seorang Army mundur. 

Eit, tapi bukan Army namanya kalau cuma mundur gitu aja. Gue emang mundur, tapi akan bergerak lagi dengan rencana yang matang. 

****

Lo bisa, Army! Lo bisa. Lo bisa. 

Dari awal gue buka mata sampai duduk di kelas ini sekarang, mantra-mantra itu terus gue dengungkan di kepala. Biar gimana pun, semuanya demi kelancaran Army on Revenge yang sudah gue susun sedemikian rupa. Benar kata Nanang, gue harus turunkan keegoisan gue. Berusaha bersikap baik di depan Bima, nggak boleh hanyut ke dalam emosi, dan harus ekstra sabar. 

Hari ini nggak ada pelajarannya Pak Haryo, berarti Bima nggak akan masuk kelas. Rencana gue untuk hari ini yaitu bertemu Bima. Sebenarnya gue juga nggak tahu sih alasan gue bertemu dia tuh mau ngapain. Masa iya tiba-tiba muncul dan bilang 'Lo mau nggak jadi pacar bohongan gue?'. Big no!

"Mi, anterin gue, yuk!" Nanang muncul dari balik pintu. 

"Ngapain?" tanya gue malas. 

"Ngasih tugas ke Bima." 

Mata gue langsung mendelik. Sebuah lampu terang muncul di atas kepala gue yang biasanya kosong. 

I have an idea!

Tanpa pikir panjang, gue segera keluar kelas mengikuti Nanang menuju ruang tempat Bima biasa bekerja. Dia jadi asisten dosen, tempatnya di laboratorium komputer bersama beberapa mahasiswa lain yang juga jadi asdos. 

"Semangat banget lu," gumam Nanang heran melihat gue yang jalannya setengah terburu-buru. 

Sesampainya di ruang lab, sebelum kami mengetuk pintu, ternyata ada orang yang keluar lebih dulu. Dan itu Bima! Penampilannya hari ini nggak seformal biasanya. Kaus hitam dipadu jaket denim bertudung dan celana denim warna hitam. Untuk masalah tampang dan style, dia oke juga, sih. Nggak kalah deh dari Langit. Lebih macho malah. Lho, fokus, Army!

"Bang, ini tugas saya." Nanang menyerahkan sebuah flasdisk kepada Bima. 

"Oh, Nanang. Ya udah bentar gue copy dulu." Bima balik ke dalam lab. 

Menunggu dia yang lagi copy file tugasnya Nanang, kegugupan gue semakin menjadi. Gue harus mulai dari mana, ya?   

"Nih." Bima muncul. 

Duh! Kenapa cepet banget sih?! Gue jadi makin nggak bisa mikir 'kan dan waktu udah habis. 

"Makasih, Bang."

"Yo, sama-sama." 

"Bim, gue mau ngomong sama lo." Kali ini gue beranikan diri untuk bicara. Menatap matanya yang sekarang dibalut kaca mata berbingkai hitam tapi tetap casual. 

ARMY (Completed)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن