Mama itu malaikat bagi gue. Wanita terbaik satu-satunya yang gue temuin di muka bumi. Dunia gue adalah bahagianya. Mama adalah tempat gue berbagi keluh kesah, mama juga tembok pertahanan gue. Disaat gue rapuh dan berada di titik paling rendah, mama ada sebagai alasan gue untuk bertahan. Terutama semenjak kepergian ayah 10 tahun silam, dunia gue sempat runtuh, pernah terpikir untuk mengikuti ayah ke surga, lalu bayangan mama datang, mengisyaratkan bahwa masih ada tugas di dunia yang harus gue selesaikan, yaitu menjamin kebahagiannya di hari tua.

Setelah izin dengan mama, gue berjalan turun ke bawah melewati tangga, lalu menghampiri Razil. Air mata gue tiba-tiba menitik setelah tadi sempat memikirkan ayah. Gue cepat-cepat menghapusnya agar tidak dilihat oleh Razil.

"Kuy," kata gue memecah lamunannya yang sedang menatap foto keluarga yang isinya adalah mama, Riyan, dan gue. Sengaja nggak panjang foto yang ada ayah, karena mama orangnya sensitif banget. Mama bakal nangis dan terus ngingat ayah kalau melihat fotonya, jadi gue yang minta untuk nggak pajang foto ayah, cukup disimpan saja, jika rindu dilihat atau lebih baik berziarah ke makamnya. Gue bukannya mau ngelupain ayah, tapi gue kasihan sama mama yang masih saja berlarut dengan lukanya meskipun sudah hampir 10 tahun kejadian itu berlalu.

"Eh mama lo mana? Izin dulu," Razil kemudian mengalihkan pandangannya dari foto jadi menatap gue.

"Mama lagi nonton di atas, gue udah izin tadi ke mama, lanjut aja. Mama susah diganggu kalau sinetronnya lagi tayang,"

"Oh ya udah."

Gue dan Razil lalu berjalan keluar. Gue mengunci pintu dan membawa kunci serap. Razil kemudian mengambil motornya yang diparkir di halaman depan rumah gue.

"Nggak usah pakai motor, jalan aja." dia kemudian menghentikan aktivitasnya untuk mengeluarkan motor.

"Seriusan?" raut wajahnya seolah nggak yakin sama apa yang gue ucapkan.

"Iya, kan nggak jauh. Sekalian gue pengen liat bintang," gue ngejawab asal sambil menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang.

Gue sengaja ngajak Razil jalan kaki, bosan naik motor terus. Sesekali mau coba jalan sama pacar, yang emang real jalan pakai kaki.

Dia kemudian turun dari motornya dan menuruti kemauan gue. Kita melangkah keluar area rumah, lalu dia menutup pagar dan berjalan di jalanan komplek yang tidak terlalu ramai.

Udara malamnya sejuk, gue suka. Bener-bener nggak nyesel nyuruh Razil jalan kaki.

"Ze, sorry ya soal yang tadi," katanya memecah keheningan. Gue nggak bereaksi sama sekali. Gue mau tau kelanjutannya dulu.

"Gue tadi nungguin lo, terus Kak Anya lewat, dia buru-buru mau ke rumah sakit karena papanya dirawat. Dia nunggu taksi tapi nggak datang-datang. Gue kasian Ze, terus gue anterin. Sampai di sana, gue nggak tega ninggalin Kak Anya sendirian, kondisi papanya sekarat, dan mamanya lagi di luar negeri. Gue pengen ngehubungin lo, dan sialnya batrai handphone gue habis. Gue pinjam HP Kak Anya buat ngabarin lo supaya lo nggak khawatirin gue." dia menjelaskan panjang lebar. Nggak tau kenapa, gue masih egois dan belum bisa nerima alasan dia. Tapi gue nggak nunjukin itu ke dia. Gue cuma diam, dan sesekali cuma mengangguk untuk mengiyakan saja.

"Gue tau lo marah sama gue. Tapi tadi itu posisinya darurat Ze. Lo bayangin kalau bokapnya Kak Anya tadi meninggal, dan gue nggak nganterin dia. Gue akan ngerasa bersalah banget,"

"Jadi kalau ninggalin gue nggak ngerasa bersalah gitu?" tanya gue akhirnya setelah dari tadi memilih diam.

"Ngerasa bersalah juga, kalau nggak ngapain gue samperin lo ke rumah,"

Setelah dia ngomong kayak gitu, gue nggak ngerespon lagi. Gue masih marah sama dia.

Setelah sekitar 10 menit berjalan, akhirnya kami tiba di warung bakso Mang Ujang. Warung bakso ini langganan kami, gue sama Razil sering kesini kalau pulang sekolah. Warung baksonya nggak elite-elite banget tapi kesterilannya gue jamin, karena gue makan bakso di sini dari jaman bocah dan belum pernah sakit perut.

Razil kemudian memesan bakso dan minumannya di dekat etalase, gue yang males buat nungguin memilih untuk berjalan duluan ke arah meja yang letaknya di tepi dekat jendela. Gue sengaja ambil posisi dekat jendela, biar bisa ngadem.

Razil kemudian menyusul gue ke meja setelah memesan makanan. Kita sama-sama diam. Dia nggak ngomong, dan gue juga malas buat buka obrolan.

"Ze," dia nyebut nama gue.

"Hm?"

"Gue minta maaf, jangan diemin gue kayak gini,"

"Nggak marah kok,"

"Tapi lo diemin..," ucapan dia kepotong karena bakso pesanan kami datang.

Mamang tukang baksonya menata pesanan kami, dan gue lebih kegoda sama baksonya daripada penjelasan Razil. Setelah mamang tukang baksonya pergi, gue mengambil saos dan kecap lalu menuangkannyan pada bakso.

Razil nggak ngelanjutin kata-katanya yang tadi sempat kepotong. Dia malah ngeliatin gue yang lagi menyuapkan bakso ke mulut.

"Ngapain liatin gue? Baksonya makan, kalau dingin gak enak," tanya gue dengan mulut yang terisi.

"Maafin gue Ze," dia masih aja ngungkit itu.

"Lagi makan nggak boleh ngomong," setelah itu gue nggak lagi buka bicara. Gue memilih diam dan menikmati setiap sendok bakso yang gue makan.

.
.
.
.
.
.
.

Holla gaes, apa kabar semuanya? Semoga sehat selalu ya:)

Buat temen-temen yang libur gegara corona, dan tugasnya bejibun, mari kita berpelukan:(

Segitu aja deh dari aku, see you

Luv luv dari author💜💛💚💙❤

About ZeyaWhere stories live. Discover now