Part 6

35 7 0
                                    

"Seandainya Allah memberikan aku kesempatan untuk memutar waktu, aku ingin kembali di masa kanak-kanak. Di mana aku hanya tertawa dan menangis tanpa ada beban kehidupan."
~Aileen Valeria Meshach~

*******
Happy Reading
Jangan lupa tekan bintang dan komen

*******

Ruangan yang besar itu terlihat canggung, hanya ada suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu. Tidak ada percakapan yang tercipta di antara mereka. Semua fokus dengan kegiatan mengunyah.

Dritt ... dritt ....

Deringan benda pipih itu memecahkan keheningan di ruang makan. Sorotan tajam dari laki-laki remaja itu tertuju pada pemilik benda pipih yang berdering. Pemilik itu segera menjauhi ruang makan untuk mengangkat teleponnya.

"Pasti perempuan itu!" gumam Regan penuh penekanan.

"Sudahlah, tenang ," tegur Lydia.

Rhea hanya memperhatikan keluarganya dengan sendu, selera makannya telah lenyap. Rasanya ia ingin segera kembali ke asrama. Setidaknya, di sana ia tidak merasakan keadaan seperti ini.

Andrew—si pemilik benda pipih yang berdering—kembali ke meja makan.

"Siapa yang nelpon tadi, Pa?" tanya Regan sekembalinya Andrew.

"Teman kantor," jawab Andrew singkat.

"Hm, teman atau perempuan?"

"Regan!" Andrew memukul meja makan dengan keras, tatapan Andrew menuju Regan. Regan bahkan tidak melirik ke arah papanya.

"Benar 'kan? Kalau tidak Papa nggak marah," ucap Regan dengan santainya.

"Itu bukan urusanmu!" tegas Andrew.

"Oh, selama ini Papa nggak anggap Regan sebagai anak Papa? Makanya Regan tidak berhak tahu apa saja yang Papa lakukan?" ujar Regan datar, ia mulai menatap Andrew.

"Ada beberapa hal tidak perlu kamu tahu!"

"Papa benar, contohnya saat Papa sama perempuan itu kami nggak perlu tahu, kan?"

"Regan!"

Regan yang duduk di dekat Andrew dengan mudah Andrew ingin melayangkan tangannya ke wajah Regan, tetapi dengan sigap Lydia menghentikan gerakan tangan Andrew.

"Cukup, Mas! Aku sudah sabar melihat pertengkaran kalian! Aku tidak mau kamu sampai menampar anakku!" Lydia mulai emosi.

"Lydia ...." Suara Andrew melembut.

"Sudah, Mas. Jangan sakiti Regan dan Rhea. Mereka juga anak kamu." Lydia mulai mengeluarkan air mata.

Andrew menurunkan tangannya, ia menatap ke arah Regan dan Rhea. Regan masih dengan tatapan datarnya, sedangkan mata Rhea mulai berkaca-kaca. Rhea tidak tahan, ia segera meninggalkan meja makan menuju kamarnya.

"Rhea!" Regan memanggil Rhea.

Regan berdiri, ia menatap papanya. "Pa, tolong sayangi Rhea. Mungkin kasih sayang Papa tidak lagi sama kami, Papa udah ada anak baru. Tapi tolong Pa, jangan kurangi rasa kasih sayang Papa untuk Rhea. Kasih sayang yang menjadi jatah Regan, Regan relakan untuk Rhea. Rhea butuh kasih sayang lebih," ucap Regan yang berhasil menohok hati Andrew maupun Lydia.

"Regan, maafin Papa," gumam Andrew yang dapat didengar oleh Regan.

"Jangan minta maaf pada Regan doang, minta maaf juga pada Rhea! Di antara semua, Rhea paling merasa dianak tirikan oleh orang tua kandungnya!" Regan berujar penuh penekanan.

Lame Girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang