Part 1

73 13 5
                                    

Jika Tuhan tidak menilai hambanya dari segi fisik, lantas mengapa kita sebagai makhluk hina ini membedakannya? Kita sama dihadapan Tuhan, yang membedakannya adalah tingkat ketakwaan bukan fisik.
~Regan Saskara Achilles~

*******
Happy Reading
Jangan lupa vote dan komen


********


Pecahan kaca terdengar dari arah dapur. Suara adu mulut terdengar nyaring di rumah bagaikan istana. Laki-laki yang berusia 17 tahun hanya melihat pertengkaran itu di ambang pintu dapur dengan wajah datar. Mungkin wajahnya terlihat datar, tetapi hatinya terasa teriris. Pertengkaran antara pria dan wanita paruh baya sudah biasa dilihatnya.

"Mama, Papa ... Regan pamit ke sekolah," ujar laki-laki itu menghentikan adu mulut tersebut.

"Re ... Regan? Sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanya wanita paruh baya itu, yakni ibu Regan.

"Sudah dari tadi."

Ibu Regan menelan salivanya dengan susah payah, ia menatap sendu anaknya. "Sekarang kamu langsung ke sekolah, ya. Belajar yang rajin dan fokus."

"Iya."

Regan segera ke sekolah tanpa menyalami kedua orang tuanya. Ia pergi secara tergesa-gesa padahal jam masih menunjukkan pukul 6. Regan segera menuju bagasi dan menghidupkan motor kesayangannya, yakni motor Vixion berwarna merah. Ia melajukan motornya dan membelah jalanan yang agak lengang. Regan terbawa suasana, kecepatan mengendarainya di atas rata-rata sehingga ia hampir saja menabrak gadis yang menyebrang jalan dengan kursi roda.

"Hei, bawa motor hati-hati dong! Nggak usah terburu-buru amat!" teriak gadis tersebut dengan nada kesalnya. Gadis itu membenarkan tata letak jelbabnya yang sempat kusut karena diterbangkan oleh angin.

"Bacot!"

Regan kembali melaju dengan motornya, ia bahkan tidak memperhatikan gadis tersebut, wajahnya saja ia tidak lihat. Namun, terbesit rasa bersalah dalam hatinya. Cewek tadi gimana, ya? Dia 'kan pakai kursi roda pasti susah. Kenapa aku tidak membantunya, ya?

Regan memelankan laju motornya, pikirannya yang sedari tadi memikirkan orang tuanya kini beralih memikirkan gadis berkaki enam itu. Regan tidak menabrak gadis tersebut, tetapi tetap saja mengkhawatirkannya. Regan memilih untuk berbalik arah dan membawa motornya ke tempat ia menemukan gadis tersebut. Kosong. Gadis yang dicarinya tidak ada lagi. Regan memutuskan untuk kembali dan menuju sekolah.

Bodoh, untuk apa gue peduli dengan cewek itu? Gue juga tidak menabraknya. Menyebalkan, yang ada gue menghabiskan bensin dengan bolak-balik ke sini.

Itulah Regan Saskara Achilles, laki-laki cuek dengan seribu kepeduliannya. Hanya saja bentuk cueknya dipakai sebagai topeng, tapi isinya tersirat rasa empati. Tidak ada yang mengerti Regan, senyum kakunya, cueknya, dan tatapan sinisnya. Semua hanya topeng, karena di balik topeng ada wajah kepedulian dan kelembutan yang tak pernah diperlihatkannya.

*****

"Gan, tumben lo jam segini baru sampe sekolah," ujar Manaf, teman Regan yang bermata sipit.

"Cepat salah, telat pun salah. Mau lo apa?" Regan meletakkan tasnya asal di atas meja.

"Yeee, gue 'kan cuma nanya, nggak usah ngegas dong!"

"Yaelah, gue bukan ngegas. Entahlah, lo nggak bakalan ngertiin gue ...," gumam Regan dengan ekspresi datarnya.

"Iya-iya, gue udah dua tahun sebangku sama lo, tapi gue nggak pernah tahu dan ngerti masalah lo. Gimana gue ngerti kalau lo nggak pernah ceritain?" ujar Manaf yang ternyata mendengar gumaman Regan. Regan terdiam, kini ia duduk di samping Manaf dan memporak-porandakan isi tasnya.

Lame Girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang