B A T A S | | 38

1.3K 154 2
                                    



     AVE terkejut dengan pertanyaan Aga, namun dia tidak menyangkal. "Sedikit. Sebelum akhirnya dia hancurin perasaan gue dengan kenyataan dia selingkuh."

     "Tapi perasaan gue ke lo saat itu, masih jauh lebih besar dibanding ke Kak Adler," tambahnya.

    "I'm really sorry I broke your heart twice. Gue nggak nyangka Adler bakal setega itu, selama yang gue tahu dia cowok baik-baik, makanya gue kaget banget waktu lo nyamperin gue sambil nangis-nangis."


     Aga masih ingat ketika dia mau pulang ke rumah setelah latihan basket untuk tampil di DBL. Sebelum pulang, Aga memastikan lapangan sudah bersih dan gudang terkunci. Dia hendak mengunci lapangan indoor namun melihat Ave yang duduk di kursi penonton dengan pandangan kosong. Saat dia memanggil nama gadis itu, gadis itu menoleh dan berjalan ke arahnya dengan cucuran air mata.

     "Lo kenapa Ve?"

     "Gue putus dari Kak Adler," Ave tersenyum miris, "sedih ya, saat gue mulai ada rasa sama dia, ternyata dia malah main di belakang gue. Semesta memang selucu itu. Gue selalu dipermainkan sama orang-orang yang gue sayang. Sedih ya."

     Ada rasa sakit yang menjalar di dalam diri Aga saat mendengar pengakuan Ave. Dia salah satu orang yang melukai Ave, dan ketika dia berharap ada orang lain yang jauh lebih baik dari dia untuk melindungi Ave, orang itu malah melukai gadis itu lagi.

     Aga membiarkan Ave menangis dalam pelukannya hari itu. Dan keesokannya, dia menghajar Adler sampai hidung pria itu patah. Tidak lupa, dia juga mendapat hadiah skors dari kepala sekolah.


     Ave tersenyum. Dia juga ingat saat-saat itu. "Sekarang gue tanya sama lo, sebenarnya dulu lo suka sama gue apa enggak?"

     Aga menelan ludahnya kaku. Tidak pernah dia sangka Ave akan menanyakan hal ini. Aga tahu butuh keberanian besar bagi Ave menanyakan ini, maka dia harus berani juga 'kan?

     "I will always love you, Ve. Bukan cuma sebatas sahabat, tapi lebih dari itu. Lo segalanya buat gue. Lo pusat hidup gue. Lo memberikan kehidupan ke gue. Ketika semua orang nggak lihat value gue, cuma lo yang lihat. Ketika semua orang ngelewatin gue saat gue jatuh, cuma lo yang ngulurin tangan buat bantu gue bangkit berdiri. How can I am not loving you more than I love myself? It's always you, Averanska Velove."

     Pengakuan Aga membuat Ave terhenyak. Meski Aga dikenal sebagai cowok 1001 gombalan yang bisa meluluhkan hati banyak perempuan, namun sorot mata Aga menunjukan bahwa dia tulus dan serius. Hati Ave terasa hangat. Senyuman tulus yang jarang diberikan Aga ke orang lain ditujukan padanya.

     "Jadi, selama ini, lo nggak pernah sekalipun berhenti suka sama gue?" Ave kembali bertanya, memastikan.

     "Gue nggak suka sama lo. Gue sayang. Itu adalah perbedaan yang sangat besar. Tapi Ve, gue harap lo mengerti kenapa selama ini gue diem. Gue nggak bisa langgar janji gue ke Adler. Gue sudah bersumpah sama dia. Gue diem karena gue nggak mau ngelukain lo juga. Gue beneran sayang sama lo, gue pengen bisa jadi pacar lo, gue pengen pamerin ke semua orang kalau lo milik gue dan gue milik lo, tapi gue nggak mungkin ingkarin sumpah gue sendiri. Maaf, gue bukan cowok yang baik. Gue nggak bisa berbuat apa-apa di kondisi kayak gini."

     Air mata kembali mengalir dari pelupuk mata Ave. Gadis itu berjalan mendekat ke Aga, lalu menarik pria itu ke dalam pelukannya. "Gue ngerti Ga. Gue ngerti."

     "Maaf Ve. Gue sayang banget sama lo. Selama ini gue brengsek banget, gue selalu nyakitin lo dan berlindung dibalik sikap pongah gue. Lo berhak dapat yang lebih baik dari gue." Aga merengkuh Ave dalam pelukannya sekuat tenaga.

     Ave memejamkan matanya. Kini air matanya tidak berhenti mengalir. Dia yakin air matanya sudah membasahi punggung Aga. "M-mungkin memang timing-nya nggak tepat, Ga. Maybe we're just not meant to be in this lifetime."

     Pelukan Aga semakin erat. Seolah-olah dia takut kehilangan Ave untuk selamanya. Ave bisa mendengar degup jantung Aga yang sama kencangnya dengan miliknya. Semilir angin menyapu lembut pipi Ave, berupaya menghapus jejak air mata yang terus mengalir tanpa henti.

     Beban di hati yang dia simpan selama ini akhirnya terangkat. Begitu pula dengan Aga, dia tidak perlu menutupi hal ini dari Ave lagi. Mereka telah saling mengerti setelah ribuan kesalahpahaman yang timbul akibat dirinya yang tidak berani jujur.

     Banyak orang yang tidak bisa bersatu dengan orang yang mereka cintai karena terhalang status, agama, suku, maupun ras dan selama ini Ave pikir itu lucu. Mengapa mereka tidak bisa bersama? Bukannya yang paling penting adalah perasaan mereka? Namun sekarang Ave mengerti bahwa perasaan saja tidak cukup. Butuh keberanian yang besar untuk melewati batas-batas itu. 

     "Maaf Ve, gue pengecut banget nggak berani bilang ini ke lo. Gue ngerasa ini nggak adil buat lo tapi gue juga nggak mau kehilangan lo. Maaf, lo pasti menderita banyak gara-gara gue. Dan gue berterima kasih karena meskipun sikap gue sudah sampah banget, lo tetap mau di sisi gue."

     "Bukan cuma gue yang terluka tapi lo juga. Gue akuin lo memang pengecut Ga, tapi gue tahu ada alasan dibalik itu semua. Mungkin kalau gue di posisi lo, gue bakal jauh lebih buruk dalam handle hal ini," Ave menghembus napas berat, "meski gue masih marah karena lo ngoper gue ke Adler seolah-olah gue ini barang bukan manusia, tapi gue salut satu hal. Seorang Aga yang biasanya mau menang sendiri mau mengalah demi orang lain. It must be hard for you too."

     "Awalnya gue nggak mau," Aga menyengir kecil namun di mata Ave, cengiran itu tampak menyedihkan, "gue mikir 'Kenapa gue harus ngalah ke Adler? Ave kayaknya juga suka sama gue dan gue juga suka sama Ave' terus gue inget apa yang sudah dia lakuin buat gue dan rasanya gue nggak tahu terima kasih banget kalau gue tetap mendahulukan ego gue padahal gue sudah janji kalau gue bakal ngasih apa yang dia mau."

     Aga memandang Ave dengan serius. "In the end lo yang mendorong gue untuk jujur sama diri gue sendiri dan ke elo. Makasih banget Ve atas segalanya. I will always remember and love you."

     Keduanya saling bertukar pandang lama. Meski mereka tidak bisa bersama, setidaknya mereka lega karena telah jujur satu sama lain. Ave tidak bisa memungkiri kalau hatinya terasa sakit, namun perasaan lega jauuuh lebih besar dibanding rasa sakit yang ia rasa.

     "Gue juga sayang sama lo, Ga. Selalu."

     "Lo nggak pa-pa dengan hal ini...?" Aga bertanya cemas. Dia memperhatikan raut wajah Ave khawatir.

     "Kita memang nggak bisa berbuat apa-apa 'kan?" balas Ave dengan pertanyaan lain.

     Aga hendak membuka mulutnya namun dia tahan. Dia hanya bisa mengangguk pelan.

     "Nggak pa-pa. Saling suka 'kan belum tentu harus bareng-bareng sampai akhir. Toh sebentar lagi kita bakal berpisah, lo bisa saja sudah dapat pacar baru di sana, begitu pula dengan gue." Ada rasa miris yang menyayat hati Ave ketika dia mengatakan itu. "Jadi kita tetap bisa bersahabat 'kan?"

     "Lo yakin hubungan kita masih bisa disebut sahabat setelah semua kejadian yang kita lewatin?" Aga menatap manik mata Ave dengan tatapan sendu. Membuat Ave mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menghindar dari tatapan Aga.

     "Memangnya mau apa? Seorang laki-laki harus menepati janjinya. Dan gue nggak akan maksa lo ingkarin janji demi perasaan gue. Gue nggak seegois itu Ga. Jadi lo harus pegang janji itu baik-baik ya?"

     "Meski itu lukain lo?"

     "Meski itu lukain kita," koreksi Ave yang dibalas senyuman sedih Aga.

BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang