B A T A S | | 35

1.2K 158 10
                                    


     SELAMA 20 tahun Ave hidup, Ave selalu berusaha untuk menjadi orang baik. Dia berusaha melakukan yang terbaik demi teman dan keluarganya. Menjadi anak yang tidak menyusahkan, teman yang selalu ada, dan pacar yang pengertian. Ketika Ave ingin bercerita namun kedua orang tuanya yang lelah setelah bekerja segera masuk ke dalam kamar untuk istirahat, dia menutupi rasa kecewanya dengan tersenyum dan menyimpan semuanya sendiri. Ketika Ave diomongi jelek ketika berteman dengan Aga, dia menutupi rasa sakitnya agar Aga tidak tahu. Ketika Ave dikhianati Adler, dia menutupi hatinya yang terluka dan bersikap tegar ketika meminta putus dari Adler.

     Ave selalu berharap memiliki orang yang bisa mendengarkannya, orang yang pengertian, orang yang setia padanya dan sekarang Tuhan sudah mengabulkannya. Tuhan memberikan Atlas ke dia. Atlas adalah jawaban dari doa-doa yang Ave lantunkan untuk mendapat sosok ideal sesuai apa yang dibentuk di otaknya. Namun semesta memang selucu itu, ketika pria itu diberikan padanya, hatinya tidak berdebar sama sekali. Hatinya tetap berdetak seperti biasa. Tidak ada kupu-kupu di dalam perut yang terbang kemana-mana. Tidak ada keringat dingin yang mengalir dari pelipis. Tidak ada yang berubah.

     Ave senang mengenal Atlas. Ave senang Atlas menjadi kekasihnya. Ave senang Atlas ada di sampingnya. Tapi Ave tahu ini semua tidak adil bagi Atlas. Ave menyelonjorkan kakinya sembari memperhatikan orang-orang berlalu lalang di gedung Fakultas Hukum. Tak berapa lama kemudian, Atlas muncul dengan beberapa temannya yang tengah bercengkrama sambil menuruni tangga.

     Beberapa temannya yang mengenali Ave segera memberitahu Atlas, pria itu mengalihkan perhatiannya ke Ave yang sudah melambaikan tangan memanggilnya. Setelah berbicara sejenak dengan teman-temannya, Atlas berjalan menemui Ave.

     "Tumben kamu ke Fakultas Hukum. Ada apa Ve?"

     "Ada yang mau aku omongin, At." Ave berusaha serileks mungkin namun raut tegangnya tidak luput dari mata elang Atlas.

     "Makan dulu saja yuk? Belom pernah makan di kantin Fakultas Hukum 'kan kamu?"

     Ave belum sempat menjawab, namun tangannya sudah ditarik oleh Atlas menyusuri lorong di dalam gedung.

     "Tapi aku habis ini ada kelas..."

     "Aku tahu, makanya makan dulu biar perut kamu nggak keroncongan," balas Atlas. "Mau makan apa? Di sini yang terkenal tuh masakan manadonya, buat anak-anak perantau dari Manado pasti seneng banget makan di kantin sini karena enak. Kamu suka makanan pedas 'kan? Mau coba itu saja?"

     "Boleh deh. Kayaknya menarik."

     Atlas melesat pergi untuk memesan pesanan Ave sementara Ave hanya bisa memandangi punggungnya dengan tatapan sedih. Keraguan kembali terbesit dalam benaknya, cepat-cepat Ave menggelengkan kepalanya.

     "Nggak Ve, kamu nggak boleh ragu. Kamu harus bisa ambil keputusan terbaik. Kamu nggak boleh egois." Sugesti Ave berkali-kali.

     Ave tengah menekan kedua pelipisnya dengan jari telunjuk dan tengahnya yang ditempelkan erat, layaknya mengisi kepalanya dengan sengatan listrik ketika Atlas datang membawa makanan dengan keheranan. "Kamu ngapain?" tanyanya heran, sekaligus geli dengan tingkah Ave.

     Ave menghentikan kegiatan konyolnya dan menyengir malu. "Nggak pa-pa. He-he-he," jawabnya tengsin.

     Atlas meletakkan piring penuh dengan makanan di hadapan Ave lalu mengambil piring lain yang tak kalah penuhnya. Ave memandangi makanan di hadapannya dengan terpesona namun dia tersadar tujuannya ke sini bukan makan, melainkan berbincang dengan Atlas!

     "At, aku..."

     "Makan dulu, ngomongnya habis makan saja," potong Atlas cepat.

     Ave terdiam dan menuruti keinginan Atlas. Benar kata Atlas, makanan manado di kantin Fakultas Hukum benar-benar enak, tidak kalah dengan restoran manado terkenal yang ada di mall. Ave hampir menandaskan isi piringnya namun makanan di piring Atlas masih tersisa separuh lebih.

BatasWhere stories live. Discover now