B A T A S || 28

1.2K 196 23
                                    


     TATAPAN tajam Veron menghujam Aga seiring kakinya melangkah masuk ke dalam rumah. Wajah Veron sudah menggelap, tidak ada wajah ramah yang selama ini selalu ditunjukkan ke hadapan umum, yang tersisa hanya tatapan tajam nan dingin.

     "Setelah kabar mengenai kamu tukang mabuk, tidur sana-sini, dan sekarang kamu mau masuk berita jadi pengendara mabuk yang menabrak orang sampai mati, Vernon Agler Soedjono?"

     Veron tidak pernah memanggil nama panjang Aga kecuali saat dia marah besar.

     "Kalau kamu mau menghancurkan diri kamu sendiri, tanggalkan nama Soedjono itu!" hardik Veron tajam.

     "Veron!" Maura berjalan ke antara mereka. "Kamu jangan kayak gitu ke anakmu sendiri," ujar Maura mengingatkan.

     "Kamu jangan melindungi dia terus menerus ya Ra, kamu lihat jadi apa dia sekarang! Aku sudah memberikan dia pilihan untuk mengejar mimpinya, aku juga tutup mata dengan sikapnya yang mabuk-mabukan dan tidur sana-sini dengan banyak perempuan, aku harus memberikan apa lagi? Membiarkan dia mematikan nyawa orang lain dan menutupinya seperti apa yang kamu lakukan?"

     "VERON!"

     "Harusnya biarkan saja dia dipenjara! Biar dia mengenal kerasnya dunia luar! Kamu terlalu memanjakan Aga, sekarang lihat bagaimana sikap dia! Bahkan menatap mataku pun tidak."

     Aga memejamkan matanya, berusaha menenangkan dirinya yang diliputi emosi, namun dia tidak bisa marah karena apa yang dia lakukan memang salah kali ini.

     "Aga nggak membunuh orang lain!"

     "Tapi hampir!" koreksi Veron.

     Maura tidak bisa membalas, dia menggigit bibir bawahnya sangsi. Sementara Aga tetap menunduk, tidak berani menatap mata orang tuanya.

     "Kamu selalu membuat papa kecewa, Ga. Papa sudah melunak untuk kamu dan memberikan kamu kesempatan, tapi kamu selalu mengecewakan papa terus menerus. Kalau kamu mau menghancurkan hidupmu, silakan pergi dari rumah ini. Jangan menghalangi masa depan cemerlang adik dan kakakmu. Tinggalkan nama Soedjono yang kamu coreng terus menerus."

     Veron bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Aga sendirian. Maura menjerit memanggil Veron, namun pria itu tetap pergi. Maura meraih jemari Aga dan meremasnya kuat.

     "Jangan masukin hati omongan papamu itu ya sayang. Papamu lagi emosi. Mama akan coba bicara sama dia."

     Aga hendak menahan Maura, namun Maura sudah melangkah menuju lantai dua untuk menemui Veron. Aga menundukkan kepalanya. Lagi-lagi karena dia. Dia selalu menjadi penyebab kedua orang tuanya bertengkar. Dia selalu mengecewakan ayahnya. Dia selalu berlindung dibalik punggung ibunya. Aga memang mengecewakan.

     Aga menaiki anak tangga perlahan dan berjalan melalui ruang kerja Veron, sayup-sayup dia masih dapat mendengar perdebatan orang tuanya.

     "Kamu kenapa sih ngomong kayak gitu ke Aga? Kamu itu ayahnya! Seharusnya kamu bisa merangkul dia!" Terdengar pekikan Maura.

     "Terus aku yang salah, gitu? Aku bukan ayah yang baik buat Aga? Aku kurang apa, Ra? Aku keras ke mereka bertiga, dua diantaranya jadi baik, dan satu tidak, lalu yang gagal itu aku? Kamu suruh aku melunak, oke, aku melunak dan berusaha toleransi segala kenakalan Aga. Tapi apa yang kudapat? Apakah Aga lebih baik dari Mario? Apakah Aga lebih baik dari Reon? Nggak 'kan?"

     "Veron! Anak-anak kita itu berbeda, kamu nggak bisa menyamakan mereka atau membandingkan seperti itu. Semua memiliki bakat..."

     "Dan bakat Aga itu cuma bikin onar!" Veron menyela cepat, "Lihat! Ini semua gara-gara kamu terlalu memanjakan Aga dari kecil, sekarang dia kayak gini! Kamu tahu nggak bagaimana malunya aku setiap orang-orang menanyakan  Aga? Berapa banyak uang yang kita keluarkan untuk menutup mulut media supaya nggak meliput kelakuan onar Aga yang mempengaruhi perusahaan kita?"

     "Veron! Anak kamu jauh lebih berharga dibandingkan perusahaan! Kamu harusnya tahu hal itu, kenapa kamu jadi kayak gini?"

     "Terus aku harus mengorbankan ribuan karyawan yang terancam di-PHK karena imej perusahaan kita yang buruk sehingga nilai saham turun? Apa kamu nggak malu setiap kamu berkumpul dengan sosialita lain, mereka akan membahas sifat Aga itu? Kamu nggak malu orang-orang membandingkan Aga dengan Atlas yang berbeda bagaikan langit dan bumi?"

     "Nggak! Kenapa aku harus malu? Aga itu anakku! Aku nggak akan malu! Aku tahu dia berbuat salah Veron, tapi bukan kayak gini cara kamu menasehati dia. Kamu harus merangkul Aga! Bukannya malah marah-marah seperti ini!" balas Maura sengit.

     "Memangnya ada hasilnya? Kamu tahu aku sudah sangat lunak ke Aga dan Reon, bahkan aku harus menanggung rasa malu dan nggak enak ke Mario yang menerima perlakuan kerasku tapi Aga dan Reon tidak. Reon memang nggak pernah berbuat onar dari kecil, tapi Aga?" Veron menarik napas panjang. "Mana hasil merangkul kamu? Apa menjadikan Aga pria yang lebih baik? Bukannya justru menjadikan dia hampir jadi pembunuh?"

     Maura tampak terluka. "Jadi kamu menyalahkan aku? Kamu pikir Aga gagal karena aku, begitu? Semua salah aku 'kan makanya Aga kayak gini?"

     "Terserah kamu lah anggap kayak apa." Terdengar helaan pasrah Veron.

     "Aku tahu aku bukan ibu yang baik Ver, tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk merangkul anak-anakku. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu dan aku mengerti. Kamu bilang aku gagal, aku juga ngerti. Tapi jangan pernah bilang anak kita gagal, karena mereka juga anakmu Ver."

     "Maura, kenapa jadi kemana-mana begini topiknya? Kamu itu kebiasaan memperbesar masalah. Poinku hanya Aga."

     "Tapi Aga itu anakku! Kamu seolah-olah menyudutkan aku sebagai ibu paling nggak becus dalam ngurus anak. Seolah-olah Aga kayak gitu karena kesalahanku. Memangnya kamu pernah merangkul Aga? Nggak 'kan? Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu!" Maura terdengar terisak kecil. Suaranya semakin melemah.

     "Kenapa kita kembali ke masalah ini? Aku nggak mau ya kita berdebat gara-gara Aga dan merembet ke hal lain. Terutama kalau kamu minta cerai lagi. Aku capek Maura. Kamu harus bisa melihat dari sudut pandangku, jangan memaksaku untuk terus memahami kamu."

     Suara Veron terdengar frustasi. "Aku sudah mengalah banyak ke kamu demi mempertahankan keluarga kita. Dimulai dari universitas sesuai pilihan Aga, jurusan sesuai keinginan Aga, nggak memaksa Aga untuk mulai bekerja di kantor, dan sebagainya. Aku sudah berusaha versi terbaikku Maura. Aku nggak bisa ngalah lagi dan aku nggak mau kita bertengkar terus menerus karena hal ini. Kamu juga masih emosional jadi lebih baik kita sudahi saja pembicaraan kita hari ini. Aku harap kamu bisa mengerti aku sedikit saja, Ra. Karena aku juga nggak pengen keluarga kita hancur."

     Hati Aga turut teriris mendengar perdebatan orang tuanya. Dia tahu dia bukanlah anak yang baik. Dia tidak bisa membanggakan Veron seperti Mario, atau penurut dan patuh seperti Reon. Aga hanyalah anak kedua keluarga Soedjono yang pembangkang dan pembuat onar. Dia hanya mendapatkan poin plus karena wajah dan nama Soedjono.

     Aga memutar tubuhnya dan matanya bersitatap dengan pandangan tajam dan dingin Reon. Reon menatap Aga tanpa ekspresi sambil berkata, "Mau berbuat apa lagi nanti supaya benar-benar hancurin keluarga ini?" Setelah mengatakan itu, Reon pergi meninggalkan Aga yang termangu sendirian.

     Aga mengerjapkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam. Perlahan air mata sudah turun membasahi pipinya. Ada perasaan perih dan sesak yang menyeruak dari dalam hatinya. Di rumah megah ini, Aga merasa kesepian yang begitu menyakitkan. Rasanya dia ingin menghilang layaknya uap yang tidak meninggalkan jejak.



*************************************


ARGHHH jujur sedih banget pas nulis part ini. Sebenarnya pas bikin background story keluarga Soedjono ini aku cukup sedih :') memang, nggak ada yang sempurna di dunia ini gengs. Kalau aku update lagi weekend ini pada mau nggak? xD

BatasWhere stories live. Discover now