B A T A S | | 34

1.3K 174 9
                                    


     UNTUK kesekian kalinya Dio menjadi korban untuk mendengar curhatan Ave namun kali ini bukan Aga topiknya. "Bentar," Dio mengangkat tangannya sebelum Ave mulai bercerita, "lo bilang pacar?" 

     Ave menyengir bersalah. "Gue belom ngasih tahu lo ya kalau gue punya pacar?"

     "Belom. Mama sama papa tahu?"

     "Papa 'kan masih di luar kota. Mama kayaknya nggak sadar, nggak nanya-nanya juga, sih."

     "Gue tahu kita jarang cerita hal pribadi tapi soal pacar lo harus cerita ke gue dong, gimana pun juga gue 'kan kakak lo," ujar Dio penuh penekanan.

     "Kan nggak ada yang nanya, ya gue nggak cerita. Lagian nggak gitu penting kok. Gue cerita ke lo yang penting-penting saja."

     Dio menggelengkan kepalanya tidak percaya, heran dengan cara berpikir Ave yang suka ajaib. "Meskipun menurut lo nggak penting, please kasih tahu keluarga lo ya kalau memang lo punya pacar. Gue khawatir ntar lo bisa-bisa bawa cowok ke rumah langsung lamaran lagi." 

     Dio tersenyum sedih mendengar penjelasan Ave. Keluarga mereka memang jarang berkomunikasi satu sama lain seolah-olah hal itu sudah menjadi hal yang sangat biasa. Keluarganya saja tahu kalau Ave bersahabat dekat dengan Aga karena Aga sering berkunjung ke rumah mereka, kalau nggak mungkin mereka nggak akan pernah tahu termasuk latar belakang keluarga Aga. Ave sendiri hanya akan bercerita ke Dio kalau dia benar-benar merasa butuh solusi terkait masalah yang nggak bisa dia hadapi sendiri.

     "Jadi, lo ada masalah apa sama pacar lo?"

     "Gue nolak dia waktu dia mau nyium gue..."

     Lagi-lagi mata Dio membelalak lebar mendengar cerita Ave. "Dia berani nyium lo?!"

     "Err... Bukannya itu wajar... ya? I mean... Lo juga pernah nyium pacar lo... kan?"

     "Gue butuh waktu buat mencerna informasi ini." Dio memijat pelipisnya sambil mengurut uratnya yang mendadak tegang. "Kalau boleh tahu kenapa lo nolak dia? Maksud gue, bagus, sebagai cewek jangan biarin sembarang cowok nyosor gitu saja ke lo, tapi pasti ada alasannya 'kan kenapa lo nolak?"

     "Gue... nggak tahu?" Ave mengedikkan bahunya, "gue cuma merasa itu hal yang tepat. Kayak... ya hati gue nggak mau. Dan gue nggak tahu kenapa."

     "Nggak mau apa nggak siap?"

     "Nggak keduanya," tegas Ave.

     Dio tampak berpikir serius. "Gue rasa sih karena..." kemudian dia menatap Ave dengan seksama, "hati lo memang nggak sepenuhnya buat dia." Ave terdiam. Menunggu Dio untuk melanjutkan perkataannya. "Kalau lo nyaman pasti lo bakal--ehem, kebawa suasana dan mungkin nggak masalah. Tapi lo nggak mau, lo sadar akan hal itu meski dia pacar lo. Dan dari yang gue lihat lo lebih ke arah takut awkawkrd sama dia dibanding takut nyakitin hati dia."

     "Gue takut awkawkrd dan nyakitin hati dia kak! Jangan bikin asumsi sendiri deh," ujar Ave gemas. "Kalau lo jadi dia gimana?"

     "Gue bakal merasa terluka sih," aku Dio yang membuat Ave menelan ludah kelu, "dan mungkin gue juga mikir kalau hati pacar gue nggak sepenuhnya buat gue."

     "Aduh, gue pengen menghilang saja rasanya." Ave mengantukkan kepalanya ke tembok beberapa kali.

     "Minta maaf saja. Kalau dia sayang sama lo dia bakal ngerti kok. Lo juga jelasin kenapa lo nggak mau."

     "Duuuh gue saja nggak tahu kenapa gue refleks nolak, gimana gue jelasinnya coba?"

     "Yaaa lo mikir sendiri lah di dalam hati lo apa penyebabnya lo nggak mau. Gue yakin lo tahu jawabannya tapi lo nggak mau ngaku saja."

BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang