Bab 19. Kawan Lama

2.4K 266 1
                                    

Hari-hari pun cepat berganti. Sudah tiga bulan berlalu sejak semester baru dimulai. Kini Karina dan seluruh teman satu angkatannya telah menjadi mahasiswa tingkat tiga. Di waktu ini mereka dituntut mengajukan propsal penelitian. Waktu yang terus berputar maju tak sedikit pun membuat Karina gundah gulana dengan ketiadaan sosok Arsel. Bahkan mencari sosok pemuda itu barang sebentar saja pun tidak. Karina benar-benar telah membebaskan hatinya terhadap Arsel. Tak ada lagi beban terpendam. Jauh di dasar hatinya telah mengikhlaskan kepergian Arsel.

Satu bulan yang lalu Andra menemuinya setelah beberapa bulan keduanya tak bertemu karena kesibukan perkuliahan. Andra telah menceritakan bagaimana keputusan Arsel dan perasaan pemuda itu kala hendak meninggalkan Indonesia. Sayangnya, apa yang Andra harapkan dari Karina tidak tampak di wajah Karina. Gadis itu bahkan tak bertanya ataupun sedikit terkejut dengan keputusan Arsel. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Karina. Meski begitu, tanpa Andra ketahui setelah mendengar kabar kepergian Arsel malam-malam Karina menjadi resah. Karina tak tahu apa yang perlu ia lakukan setelah mendengar kepergian Arsel, sedikitpun tak terbesit dalam pikiran dan hatinya untuk mencari sosok pemuda itu. Malamnya yang resah perlahan menjadi sejuk berkat lagu-lagu yang Reksa nyanyikan. Tiap malam, Reksa menyanyikan sebuah lagu dan mengirimkannya pada Karina. Dengan sesederhana itu, Karina telah mampu mengabaikan sosok Arsel.

Kamar yang sunyi kini menjadi ramai. Gesekan kertas dan mesin pencetak yang menuangkan tinta padanya, sayap kipas angin yang memutar terpajang di dinding, sayup-sayup penyiar radio menyampaikan berita, dan embusan napas lembut yang kompak seirama dengan tarikan napas si penyanyi dalam radio. Karina tengah menyelesaikan sebuah proposal penelitian pertama yang akan ia ajukan sebagai dasar skripsinya tahun depan. Dan, menit berikutnya layar ponsel menyala, menampakkan sebuah nama yang tak asing lagi bagi Karina. Ponselnya berdering.

"Udiiiin! Apa kabar?!"

Kamar yang sebelumnya hening bagai makam, seketika berubah ketika Udin menghubungi Karina.

"Kau yang apa kabar? Kau tidak pernah menghubungiku ataupun yang lain. Kupikir kau mati disambar petir."

"Ya Tuhan, ucapanmu buruk sekali. Kamu di mana sekarang?"

"Pertanyaan bagus! Aku sedang di basecamp bersama Lisa, Adul, dan Bang El."

"Aku akan ke sana! Kebetulan hari ini aku masih di Jakarta."

"Kami tunggu."

Mendapat kabar ataupun menerima kabar dari teman lama yang masih mengingat keberadaan diri kita adalah suatu hal yang mengagumkan. Seperti Karina yang telah lama tak bergumul dengan teman mendakinya, kini ia bersua kembali dengan keempat teman mendakinya kala menaklukan Rinjani dan Ciremai. Perasaan antusias pun menguap dalam dadanya. Karina bergegas, berganti pakaian dan sedikit merapikan rambutnya. Karina menggamit ponselnya yang tergeletak di meja. Diabaikannya sejumlah kertas yang telah bertinta di sela mesin pencetak.

"Sa, di mana? Bisa ikut aku?"

"Di rumah abang. Mau ke mana?"

"Jemput aku, nanti kuberi tahu tujuan kita."

Lima belas menit kemudian Reksa telah tiba di kediaman Karina. Tanpa basa-basi dan menjelaskan panjang lebar, Karina segera mengarahkan Reksa untuk menuju ke alamat yang ia berikan melalui pesan singkat sebelumnya.

"Kita ngapain ke sana?" tanya Reksa yang masih bertanya-tanya tentang alasan Karina meminta dirinya mengantarkan ke alamat tersebut.

"Nanti kamu akan tahu," jawab si gadis.

***

"Reksa, kenalkan mereka adalah teman mendakiku saat menanjak Rinjani dan Ciremai," ucap Karina.

Reksa mengulurkan tangannya pada kelima pendaki di hadapannya yang tidak lain adalah orang-orang yang dimaksud Karina tadi. Ada rasa berbeda yang Karina rasakan, ia yang awalnya mengenal mereka karena Arsel, kini dirinya yang memperkenalkan Reksa kepada lima teman mendakinya. Seolah bumi lebih cepat berputar dari putaran sebelumnya.

3.726 [COMPLETE]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora