Bab 10. Mistis Puncak Ciremai

3.4K 404 4
                                    

Pagi ini kelima muda-mudi pendaki berangkat menuju Cirebon, Jawa Barat. Dengan menggunakan kereta api tujuan Cirebon yang dilanjutkan dengan menaiki angkutan umum dan berjalan kaki, mereka berhasil tiba di lokasi jalur pendakian setelah menghabiskan waktu perjalaan selama hampir sepuluh jam.

Dari basecamp dekat pos registrasi, Karina menatap puncak Ciremai dengan kagumnya. Keempat teman pendakinya pun melakukan hal serupa. Setelah sarapan dan bercengkrama di sebuah warung. Usainya tanpa basa-basi kelima pemuda itu langsung melakukan pendakian. El yang telah mendaki Puncak Ciremai sebelumnya, kini kembali menjadi Koordinator pendakian. Di selasar pos registrasi, kelima pendaki itu melakukan doa bersama.

"Ingat, hati-hati dan selalu berdoa. Jangan bicara yang aneh-aneh, jangan ceritakan kejadian aneh yang dialami selama melakukan pendakian. Boleh diceritakan asal kita sudah tiba di sini lagi." El memberi peringatan. Menuntun keempat temannya agar selalu waspada dalam menerjang medan pendakian.

Keempat pendaki lainnya termasuk Karina mengangguk-anggukkan kepala isyarat mengerti.

Tidak berbeda dengan Rinjani tempo lalu. Yang namanya pendakian, hutan dan pohon tinggi selalu menjadi tempat istirahat. Bagai selimut yang menghangatkan ketika kantuk menerpa.

Tepat pukul tujuh malam. Kelima pemuda itu mendirikan tenda di Pos Pamerangan. Mereka beristirahat, mengusaikan lelahnya mendaki yang dirasa karena cuaca tidak cukup mendukung kali ini. Lisa dan Karina menyiapkan bahan masakan untuk disantap bersama. Sementara El, Adul dan Udin sibuk menyalakan api unggun yang tak kunjung menyala disebabkan gerimis yang belum berhenti.

Di lereng gunung sebelum magrib. Angin berembus sungguh kencang seperti badai yang seakan menerpa dan mengusir mereka dari sana. Tidak ada pendaki lain. Hanya mereka berlima. Dan dua tenda yang berdiri di sekitar pos itu, hanyalah tenda milik mereka.

Sebenarnya El menerima informasi pendakian dari grup pendakian yang ia ikuti, hanya saja jadwal keberangkatan mereka dengan rekan-rekan El berbeda. Mas Sigit—salah satu rekan El, pendaki asal Bekasi—baru akan tiba di Cirebon besok subuh. Sehingga club mendaki Mas Sigit baru akan naik esok subuh. Jadi, malam ini Ciremai hanya milik mereka berlima.

"Sudah matang, nih, Bro," ucap Lisa kepada tiga pemuda lainnya yang sedang menikmati kopi masing-masing di hadapan api unggun.

El, Adul dan Udin menghangatkan diri dengan tenang. Gerimis mulai reda. Karina mengantarkan tiga porsi santapan mi instan dengan beberapa potong tahu dan tempe kepada tiga pemuda yang masih meringkuk di hadapan api unggun.

Berdasarkan peraturan, sebenarnya menyalakan api unggun di gunung termasuk hal yang dilarang karena dikhawatirkan dapat menyebabkan kebakaran, tetapi, karena udara dingin yang sungguh menusuk tulang jadilah mereka menyalakan kecil api unggun.

"Yuk makan dulu, setelah itu istirahat," ucap El mengkomandoi.

"Omong-omong kurang seru ya rasanya gak ada Arsel," celetuk Adul. Entah apa sebabnya tiba-tiba pemuda itu teringat dengan Arsel. Sosok pemuda yang telah mencederai relung hati Karina.

"Ngurus skripsi dia, Dul." El menjawab seraya mengubur pembahasan tentang Arsel demi menyelamatkan ketentraman haati Karina.

Adul mengangguk-anggukkan kepala. "Oh iya, lupa."

***

Pukul empat sore hari berikutnya. Kelima pemuda itu telah tiba di Pos Batu Lingga. Kali ini jalur pendakian terhalang oleh beberapa pohon yang tumbang. Selain itu, sepanjang perjalanan pagi ini, cuaca kembali mendung. Uniknya, Pos Batu Lingga memiliki catatan sejarah yang tidak kalah menarik. Konon dikabarkan Pos Batu Lingga ini merupakan lokasi napak tilas Sunan Gunung Jati.

3.726 [COMPLETE]Where stories live. Discover now