BAB 5. Pilu di Hadapan Dewi Anjani

5.7K 592 100
                                    

Azan subuh terdengar samar berkumandang dari ribuan meter di lereng gunung. Bisik angin yang berembus begitu merayu mata yang masih sayup. Tubuh terempas. Udara dingin menusuk sela-sela tulang rusuk hingga sebuah jaket tebal tak lagi mampu melindungi tubuh.
Pemuda itu masih tegak berdiri menanti terbitnya matahari dari ufuk peristirahatan sang surya.

"Hoi, Sel, subuh jamaah!" ajak salah satu pendaki pada pemuda itu.

"Oke." Ia teriak pada teman pendakinya lalu berjalan mengambil tayamum.

Kini ia tengah berdiri di barisan salat. Menghadap Tuhan, memunaikan kewajibannya. Beberapa pendaki tidak melakukan. Mereka membantu menyiapkan sarapan pagi itu. Ya, di Indonesia ini tidak hanya pemuda berjiwa muslim, mereka yang nasrani maupun agama lain bersama-sama melakukan pendakian saat itu.

Tawa dan canda yang mereka tunjukkan pada dunia begitu hangat dan tulus. Begitulah seharusnya pemuda di negeri ini. Bersama-sama melestarikan keindahan alam Indonesia dan membangun negeri tercinta dengan kedamaian yang hakiki.

Tak lama berselang, pemuda-pemuda yang tadi menunaikan ibadah, kini kembali menikmati keindahan alam yang Tuhan berikan. Arsel kini berdiri di tengah barisan para pendaki, menghadap Gunung Tambora.

Dari pelupuk matanya perlahan muncul semburat oranye. Cahaya matahari pagi yang menghangatkan itu, sangat mereka dambakan. Jauh di bawah sana, birunya kaldera tampak menyerupai laut. Begitu pekat, nampak indah sekali. Anak gunung mengembuskan asap dan abu vulkanik. Namanya, Gunung Barujari.

"Sel, foto bareng, yuk!" seru gadis yang menanjak bersama si pemuda yang dipanggil tadi.

Pemuda itu menghampiri. Ponsel di tangan kanan gadis itu telah siap memotretkamera depan ponsel mengarah ke merekagadis itu merangkul bahu pemuda di sisi kirinya.

"Ka, bisa bantu pegang dan arahkan kameranya ke saya? Mau buat video," pintanya pada gadis yang kini berdiri di hadapannya.

"Kamera siap!" seru gadis itu lalu menekan tombol rec pada ponsel.

Hai! pagi ini, 23 Februari 2017 saya berada di ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Puncak Rinjani. Saya minta maaf karena belakangan ini telah mengabaikanmu. Sebenarnya saya memikirkan beberapa hal yang mengganggu pikiran, tapi syukurlah semuanya telah beres. Di atas sini, saya sudah memutuskan. Saya akan mengaku sebuah rahasia yang tak pernah kamu tahu.  Asmara Novandra, maukah kamu menjadi kekasih saya?

Beberapa detik, gadis yang memegang ponsel tadi bergeming. Berdiri diam terpaku.

Angin yang berembus sangat kencang seolah memintanya untuk terjun saja dan terbang di udara. Bisik-bisikan angin begitu pedih di telinga. Debar di dada seakan berhenti. Debar yang selalu membuatnya rindu seketika berubah menjadi debar yang membuat dirinya benci akan dirinya sendiri.

Ia belum siap untuk mendengar pengakuan itu meskipun ia sudah mengetahui isi hati si pemuda. Hatinya terasa pedih. Namun, sekali lagi, gadis itu menutupnya dengan senyuman.

Ia menekan tombol stop pada layar ponsel. Pemuda itu menghampirinya, menggamit ponsel dan mengirimkan video yang baru saja ia buat kepada gadis yang namanya baru saja ia sebut.

"Makasih, ya."

Si pemuda menunjukkan baris giginya. Ia tersenyum puas. Tak sadar bahwa ia baru saja melukai hati seorang gadis yang begitu menyukainya. Ia begitu tenggelam dengan keegoisannya.

3.726 [COMPLETE]Where stories live. Discover now