Bukalah kedua matamu, dan lihatlah sekelilingmu. Realitas yang kau jalani tidak hanya satu.
Kau bisa bermain dan menyelami mimpimu, hingga larut di dasar terdalam alam bawah sadarmu. Atau seketika tersadar bahwa kehidupan membosankan yang kau lalui...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
_____
Begitu terbangun, wangi menyengat itu langsung mencekik pernapasanku hingga membuatku terbatuk-batuk. Wangi itu tidak berasal dari mana-mana; mengendap di pangkal hidungku. Sebenarnya di dahi, ketiak dan selangkangan juga, tapi yang ada di pangkal hidung yang benar-benar menyiksa.
Pakdhe memberi segelas air putih. Ia melihat dengan ekspresi yang campur aduk, antara heran, kasihan, takut, sekaligus jijik. Begitu kuminum, aku nyaris tersedak karena tenggorokanku terasa sakit. Seluruh leherku terasa sakit ketika kugerak-gerakkan. Pakdhe hanya memandangi, antara takut salah bertindak dan takut dengan diriku.
Tidak hanya Pakdhe, semua orang yang memandangi dari jauh juga demikian. Budhe; Mas Galih, anak sulungnya yang sudah berkeluarga; Ihsan, anak tengahnya yang sebaya denganku; Rara, anak bungsunya yang masih SMA; serta sanak saudara lainnya. Oh, ada Wulan adikku juga, yang berdiri tanpa suara di sudut kamar. Selain Pakdhe, tak ada yang berani berdiri di dekatku. Semuanya berbaris rapat di depan lemari, di sisi jauh kamar dari ranjang, dan juga mengintip dari pintu. Mereka memandangiku seperti memandangi mayat yang baru saja hidup kembali.
Karena memang sebenarnya aku baru saja hidup kembali.
_____
Baca kelanjutan cerita Kakek Bercaping di Karyakarsa (klik kolom komentar)