"Tanda?"

"Ya!"

"Argh ... apa yang kau lakukan?"

Mansor menusuk telapak tangan Retno dengan belatinya hingga tembus, tanpa aba-aba. Darah segar mengalir keluar, menggenangi lengan kanan Retno.

"Memberimu tanda!" serunya.

Belum reda rasa sakit yang Retno terima, Mansor sudah menusuk telapak tangan kiri Retno lagi.

Retno menjerit sekuat tenaga. Dalam benaknya sekilas menyesali keputusannya ke rumah Santi kemarin malam.

"Selesai! Tahanlah, nanti pun rasa sakit itu akan menghilang, meski memang tidak sebentar,"

Dia meletakkan kembali pisau belati ke atas meja sesajen yang berada di atas kepala Retno.

"Oh, ya, aku hampir lupa menjawab pertanyaanmu! Tujuanku melakukan semua ini selain untuk keabadian adalah, untuk menggantikan setiap nyawa mereka yang ada di desa, dengan para jin kafir dan setan-setan yang sudah kukumpulkan! Akan kubangun sebuah desa baru yang berisi para musuh Allah, yang berwujud manusia. Sebuah desa di mana maksiat dan dosa lainnya adalah hal yang biasa!" serunya dengan suara besar yang mengerikan lantas tertawa.

Retno mendengar ucapannya, tetapi tak mampu menanggapi. Rasa sakit di kedua tangannya hampir membuat dia kehilangan kesadaran diri. Namun, satu hal yang Retno sadari sekarang, pria paruh baya di depannya ini pun, bukan manusia seutuhnya lagi, sama seperti Santi.

Mansor duduk bersila di dekat Retno, menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Mulutnya melantunkan mantra yang tak Retno pahami, tetapi sekilas terdengar seperti mantra dalam bahasa Arab.

Api di atas lilin-lilin bergerak-gerak tak tentu arah. Bau setanggi semakin pekat hingga membuat Retno ingin muntah. Wajahnya memucat. Keringat mengucur deras.

"A-a-apa yang mau kau ...?"

"Menjadikanmu wadah bagi pasangan setan yang ada di tubuh Santi!" serunya merapal mantra.

"T-t-tidak ... a-aku ... tak mau!"

"Ini bukan permintaan!"

Mansor berjalan mengambil cawan berwarna hitam di atas meja sesajen, di dalamnya sudah terdapat cairan berwarna serupa, bahkan lebih pekat.

"A-apa ... itu?" tanya Retno saat Mansor sudah kembali di sampingnya.

"Para arwah penasaran, jin ataupun setan tak akan bisa mengambil alih sepenuhnya dirimu, jika kau tidak mati! Namun, kematianmu pun tidak boleh disebabkan dari luar, harus dari dalam!"

Napas Retno memburu. "Maksudmu itu ... racun?"

"Tebakanmu benar! Tetapi tak seperti racun pada umumnya, cairan ini memutus ikatan tali jiwamu dengan tubuh secara perlahan! Dengan kata lain, nyawamu lepas tanpa mematikan jasadmu, saat itulah arwah penasaran, jin atau setan masuk dan menggantikanmu!" jelas Mansor lantas tersenyum licik.

Retno menutup mulutnya rapat-rapat, tak ingin cairan tersebut masuk ke tubuhnya.

Mansor tertawa. "Kau pikir siapa aku? Buka!" perintahnya kepada sosok hitam yang dari tadi berada di sampingnya.

Sekuat tenaga Retno menahan, tetapi mulutnya membuka dikit demi sedikit, tenaganya kalah dengan tenaga tangan sosok hitam yang membuka mulutnya.

Cawan hitam telah kosong, cairannya menerobos langsung ke kerongkongan, meninggalkan noda hitam di jalur yang dilewati, hingga masuk ke hulu hati.

"Bagaimana? Kau pikir aku hanya dukun biasa? Nikmatilah secara perlahan saat jiwamu tercabut perlahan-lahan."

Tubuh Retno meronta-ronta, mengejang kemudian. Dia tak dapat menahan rasa yang tak dimengerti olehnya. Sakit, hanya itu yang dia pahami, sakit yang teramat. Tak berselang lama, Retno terpejam tak sadarkan diri, meski napas masih menemani raganya.

"Lepaskan dia!" perintah Mansor kepada sosok hitam itu lagi. "Bawa dia ke tengah-tengah hutan! Aku ingin membuatnya merasakan betapa mengerikannya berada di tengah-tengah makhluk yang menginginkan tubuhnya!"

Tetes demi tetes cairan yang jatuh dari atas ke wajah Retno, akhirnya membuat dia tersadar. Perlahan dia membuka kelopak matanya, mengerjap pelan.

Begitu kesadarannya pulih, Retno meringis, rasa sakit dari tusukan pisau di tangannya, juga sakit dari cairan beracun yang masuk ke tubuhnya masih membekas dengan sangat jelas.

Retno mengangkat kedua tangannya ke udara, melihat bekas tusukan di dua telapak tangannya yang masih mengeluarkan darah meski tak sebanyak ketika ditusuk.

Saat melihat tangannya, dia menyadari di dekatnya berdiri kokoh pohon besar, yang meneteskan air dari dahannya, itu sekilas yang terlihat oleh Retno, tetapi makin ditatapnya, makin terasa aneh bentuk pohon tersebut.

Retno bangkit dan berdiri, di sekelilingnya yang ada hanya pohon sawit yang tinggi menjulang. Namun, ada yang aneh! Retno mengedarkan pandang sekali lagi, memperhatikan pepohonan dengan saksama. Semua pohon sawit berada pada jalur dan tempatnya masing-masing, tetapi kenapa pohon di dekatnya berada di tengah-tengah persimpangan jalan perkebunan?

Retno mengusap matanya cukup lama hingga dia melihat sekali lagi apa yang ada di dekatnya.

"T-t-tidak ... m-mungkin!" ucapnya tergagap saat melihat dengan jelas apa yang ada di dekatnya.

Benda di dekatnya yang dia kira pohon, ternyata sesosok jin bertubuh besar, berwarna hitam pekat, dengan bulu lebat di sekujur tubuhnya, dan tetesan demi tetesan yang menerpa wajahnya dari tadi ternyata adalah air liur dari jin tersebut.

Bersambung.

Yep, kita mulai lagi! :D

Retno tidak mati, setidaknya 'belum', karena dia sudah meminum cairan yang diberi oleh Mansor-ayah Santi, jadi tinggal menunggu waktu.

Bagaimana nasibnya setelah bertemu sang genderuwo?

Well, sedikit informasi, di Ketapang, Kalimantan Barat hampir seluruh hutannya sudah menjadi perkebunan sawit yang sangat luas, ada yang di kelola perusahaan besar dunia, ada juga yang dikelola per orangan, di dalam cerita ini kebunnya milik per orangan. Dan di setiap perkebunan sawit yang luas dan bisa menyesatkan jika tidak hapal penanda jalan, makhluk gaib bukan hal asing.

Pengalaman saya waktu menuju perusahaan sawit di daerah Kendawangan saat malam hari, makhluk berbaju putih berambut panjang hitam melintas di depan rombongan kami-saya dan teman-teman.

Kita bertemu lagi nanti! Hati-hati, cek setiap sudut kamar dan jangan lupa berdoa sebelum tidur.

#BangEn

DESA SETANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang