[ 8 ] Dilematis yang Tak Romantis

47K 7.2K 651
                                    

Suatu hari, earphone di telinga kulepas buru-buru melihat Anya yang tiba-tiba datang ke kelasku sepulang sekolah dalam keadaan menangis. Ia duduk penuh ribut di bangku sebelahku yang sudah kosong, lalu menempelkan kedua lengannya ke atas meja, dan membenamkan kepala di atasnya.

"Kenapa, Nya?!" tanyaku sedikit panik.

Anya masih menangis di atas meja.

Aku menutup buku yang tengah kubaca bersamaan dengan Anya yang mengangkat kepalanya, lalu memandangku dengan mata sembap. Ia membanting buku catatan Matematikanya. "Cipta ... aku enggak bisa ngerjain remedial Matematika." Anya terisak. "Aku tuh enggak pernah ngerti sama sin, cos, tan, dan keluarganya. Aku benci banget sama mereka, Ta. Kenapa sih mereka harus ada?!" Anya menangis lagi.

Aku meletakkan buku bacaanku ke kolong meja, lalu beralih membuka catatan Matematikanya dan berhenti di halaman terakhir ia membubuhkan angka-angka.

"Aku enggak bisa pulang kalau tugasnya belum dikumpulin ke Bu Hadi ...." Anya tersedu penuh pilu.

"Kenapa kamu enggak minta tolong sama Bagas?" tanyaku. Mengingat mereka sama-sama anak IPS dan memang sudah hampir satu tahun berpacaran.

Anya menggeleng.

"Kenapa? Kan biar makin mesra," godaku.

Anya menggeleng lagi, tanpa terusik gurauanku yang gagal. "Sama kamu aja."

Dan jantungku kembali dipermainkan, sebab aku tahu persis jawaban Anya bukanlah timpalan atas leluconku barusan. Betapa jahat sahabatku ini, menarik-ulur perasaanku. Alih-alih merajuk, aku hanya mampu menghela napas atas sikapnya. Sikap serupa yang sudah kesekian kali ia berikan padaku. "Udah, enggak usah nangis."

Anya menangis semakin keras. "Enggak bisa ...."

"Lihat dulu soalnya."

Anya lantas menurut. Belum sempat kubaca soal pertama, salah seorang teman sekelasku menyapa dari balik pintu, sudah lengkap dengan seragam pramukanya. "Ta!" Aku menoleh. "Enggak berangkat?'

"Hah? Udah pada siap? Oke, sebentar lagi."

Hasan mengangguk untuk kemudian berlalu menuju anak-anak pramuka lain.

"Kamu mau ke mana?" tanya Anya memelas.

"Anak kelas sebelas mau persiapan lomba pramuka di lapangan kota, yang kelas dua belas mengawasi. Aku dan Hasan yang kebagian."

Anya segera saja merengut serupa marmut dengan genangan air mulai kembali melinangi matanya yang sebening kristal. "Cipta, bantuin aku dulu ...."

"Iya," jawabku menenangkan.

Materi trigonometri tidak pernah jadi mudah di mata siswa kelas dua belas SMA mana pun, kecuali ia genius sejak lahir. Tetapi, aku menjadi yang beruntung untuk bisa memahami lebih mudah daripada siswa lain, sebab aku cukup menikmati teka-teki yang disuguhkan Matematika. Setidaknya ia selalu punya jawaban pasti, tidak seperti perasaan ini (hoek). Lihat, pada akhirnya, perlahan-lahan aku bisa memahami soal yang diributkan Anya dan terpecahkan hingga selesai sampai nomor terakhir, nomor lima.

Anya selesai menulis jawaban, dan ia mulai memahami trigonometri sedikit-sedikit. Ia kemudian memandangku penuh rasa terima kasih dan memelukku tanpa aba-aba. Aku terbeliak, hampir tak bernapas begitu semerbak aroma bebungaan dari sampo Anya menguar dari rambutnya yang lebat dan halus. "Makasih, Cipta."

Aku terpaku.

"Anya?" Tetiba saja selintas suara mengisi ruang kelas 12 IPA-2, kelasku. Bagas si jangkung berkacamata bundar estetik menemukan pacarnya tengah memelukku di kelasku. Raut gembira laki-laki itu meluntur.

Anya melepas pelukannya dariku dan menoleh ke arah Bagas panik. "B-Bagas?" Ia menyengir.

"Kamu ngapain?"

Anya menyeka anak rambutnya gugup. "Aku baru selesai ngerjain tugas remedial Bu Hadi, tadi minta tolong sama Cipta. Ini mau ngumpulin, habis itu pulang."

Bagas mengangguk. "Bareng, kan?" Ia melirikku dengan pandangan bersaing.

"Iya," jawab Anya. Ia lalu pamit padaku untuk kemudian berjalan di samping Bagas yang tanpa pamit pergi meninggalkan kelasku seraya mengelus-elus kepala Anya.

Tak apa.

Dia hanya laki-laki yang cemburu melihat pacarnya dekat dengan laki-laki lain. Meski, laki-laki lain itulah yang lebih dulu mengenal pacarnya.

Tanpa lebih banyak drama mengisi kepala, aku mecomot buku bacaanku, memasukkannya ke dalam tas untuk segera mengganti baju putih abu dengan seragam pramuka. Hasan ternyata telah lebih dulu berangkat bersama rombongan, sebab ia meninggalkan pesan melalui ponsel: langsung ke lapkot. Kita udah duluan.

Seraya membopong beberapa atribut pramuka cadangan di samping ransel pudarku, aku berjalan menuju parkiran. Membuka telepon untuk menghubungi adikku, Ratna. "Halo, Na? Abang enggak bisa bantu Ibu ke pasar besok pagi. Kamu yang bantu ya. Abang ada acara pramuka sampai besok sore, sekalian mau rapi-rapi makam Bapak di TPU dekat sana."

Ratna bilang iya, tetapi rentetan protes lain menyusul setelahnya dan membuat telingaku pengang. Sebelum aku sempat mengakhiri pembicaraan penuh moral—"Oke, makasih, Na."

"ABAAA—"

Telepon langsung kututup. Selain karena tak kuat oleh suara nyaring Ratna, aku melihat penampakan Bagas dan Anya di dekat parkiran mobil. Sangat dekat denganku, dan oleh sebab itu aku segera mundur dan menempelkan punggungku ke dinding. Tanpa kukira, suara mereka terdengar sampai gendang telingaku.

"Kenapa kamu enggak tanya sama aku?" tanya Bagas di tengah-tengah perbincangan yang terdengar menegang.

Anya tak menjawab.

"Sebenarnya hubungan kamu sama Cipta apa?"

Terdengar Anya menarik napas gugup. "Dari awal kan aku udah bilang sama kamu, dan kamu juga udah tahu. Cipta itu sahabat aku sejak SD, Gas."

"Terus, jadi sah-sah aja buat kalian pelukan?"

"Ya, maaf." Suara Anya mengecil. "Cipta udah kayak saudara kandung aku sendiri ...."

"Sampai aku lihat kamu sama dia sedekat itu lagi, dia yang kena, Nya." Lalu terdengar suara pintu mobil dibanting.

Tak terdengar apa pun lagi setelahnya. Pintu lain mobil terdengar ditutup lebih pelan. Anya yang diancam, aku yang bergemuruh, Tetapi aku takkan bertindak bodoh apalagi nekat untuk menonjok wajah Bagas. Jadi, berbekal hirupan napas aku berjalan melewati mobil Bagas menuju parkiran motor. Melupakan kemelut yang tengah bergumul dalam dadaku, dan tancap gas menuju lapangan kota.

Padahal, tanpa Bagas suruh pun, aku tetap akan menjauh dari Anya.

***

Mari Jangan Saling Jatuh CintaWhere stories live. Discover now