[ 5 ] Telanjur Sepakat

59.7K 8.2K 520
                                    

Pada hari Sabtu malam, aku dan Cipta meliburkan diri dari tugas sekolah. Hanya dengan berbekal berondong jagung dan satu liter botol soda, kami duduk manis di ruang bawah tanah kios perpustakaan Cipta. Hari itu adalah hari pindahnya perpustakaan berjalan Cipta menjadi perpustakaan tetap. Waktu itu awal kelas delapan SMP, dan segala biaya pindahan Papa yang tanggung sebagai apresiasi kerja keras Cipta dalam membangun moralitas rakyat. Apalah, aku tak begitu paham maksud Papa.

Selepas jendela kaca dilap, lantai dan atap kayu dibersihkan, sampai akhirnya semua buku disusun pada raknya masing-masing, Papa, Mama, Mbok Inah, dan Pak Suta yang turut bantu-bantu akhirnya pamit, tetapi aku dan Cipta tetap di tempat. Tentu dengan izin orang tua kami masing-masing, akhirnya ruang kecil itu diisi oleh kami sejak pukul enam sore.

Berkat televisi tabung bawaan dari tempat itu, kami mencomot salah satu VCD dari kotak barang-barang antik Papa yang dititip di tempat ini dan menemukan film Ada Apa dengan Cinta. Penuh girang dan penasaran, aku menarik Cipta ke ruang bawah tanah itu dan segera menyetelnya di mesin pemutar VCD. Kami berdua sama-sama belum pernah menontonnya, tetapi cuma aku yang tampak bersemangat.

Baru Cipta menempelkan pantatnya.

"Eh, eh, bentar dulu! Kita belum punya camilan!"

"Udah, nggak usah."

"Ish, nggak enak." Aku kemudian berdiri dan berinisiatif untuk membelinya sendiri. Tiba-tiba saja Cipta ikut berdiri.

"Aku ikut."

"Eh, eh. Apa nih? Takut nggak dibagi ya?"

"Perempuan nggak baik jalan gelap-gelap sendirian."

Aku tertawa dan mencubit perutnya, mencemoohnya mati-matian yang berujung Cipta terkekeh ketahuan, sebab omongnya hanya sekadar omong, padahal yang diinginkannya hanya minta camilan semata. Akhirnya dua remaja dengan seragam SMP kusut berjalan ke warung terdekat untuk membeli berondong jagung layak makan ukuran jumbo dan seliter penuh soda.

Awalnya Cipta memang terlihat tak begitu tertarik menonton roman, dan terganggu dengan bibirku yang berulang kali menggumam, "Rangga ganteng." Tetapi akhirnya anak itu diam, tak mengalihkan kedua matanya dari televisi sambil terus mencomot berondong jagung. Terhanyut dalam konflik dan permainan tarik-ulur emosi di dalamnya.

Film selesai. Camilan habis.

Kami memandang layar televisi dalam diam, Cipta meneguk habis sisa soda yang ada. Kulirik jam dinding yang kini menunjukkan pukul setengah delapan malam. Agaknya aku dan Cipta masih sedikit terbawa suasana menggantung di akhir film itu, terutama aku.

"Jatuh cinta itu rumit ya, Ta."

Cipta yang sudah menelan habis minuman kemasan itu, tersenyum-senyum geli menanggapi kata-kata dramatis yang keluar dari mulutku.

"Aku serius!" makiku seraya memukul lengan atasnya.

"Iya, iya."

"Maksudku ...." Jariku bergerak memutar-mutar pola di atas ubin kayu. "Seandainya Rangga dan Cinta nggak pernah jatuh cinta, pasti mereka nggak akan pernah merasa jadi orang paling bahagia di dunia cuma untuk merasakan pahitnya perpisahan. Seolah-olah cinta hanya ada untuk menciptakan kebahagiaan sepasang manusia, padahal cinta juga yang akan menghancurkan hubungan baik mereka."

Cipta mendadak dibuat berhenti cengengesan.

"Gimana caranya sepasang manusia bisa terus berhubungan baik tanpa diputus oleh rasa sakit?" tanyaku menatap lurus mata Cipta.

Cipta memandang ubin. "Jangan saling jatuh cinta." Ia lalu memandangku.

Lama kami saling bertukar pandang, seolah pikiran yang ada di dalam kepala kami turut berdiskusi. Lalu kuakui ucapan Cipta ada benarnya.

"Kalau gitu, aku mau kita berjanji," ujarku seraya mengacungkan jari kelingking. "Jangan ada yang saling jatuh cinta di antara kita."

"Kenapa?" tanya Cipta.

"Supaya kita bisa terus sama-sama sampai dewasa nanti. Jadi, enggak akan ada yang bisa memutus hubungan baik kita."

Cipta memandangi jari kelingkingku. Aku tak tahu pikiran apa yang sedang berputar dalam kepalanya, tetapi kemudian ia mengedikkan bahu dan mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku. "Mari jangan saling jatuh cinta."

"Mari jangan saling jatuh cinta," balasku terkikik.

Lalu sesudahnya kami menyemburkan tawa tanpa memahami apa yang baru saja kami sepakati. Meski nyatanya, hingga dewasa pun janji itu tak pernah kami khianati.

***

Mari Jangan Saling Jatuh CintaWhere stories live. Discover now