"Wah, aku tak menyangka warga di sini bisa sekejam itu! Apa yang terjadi kemudian?" tanya Wawan.

Santi menatap Wawan lantas melanjutkan kembali ceritanya.

"Berhari-hari Ayah hanya melamun, tak mau makan dan minum, bahkan bicara, hingga suatu malam, entah ada angin apa, Ayah berbicara kepada kami, dia pamit dan berkata hanya pergi sebentar untuk meminjam uang kepada kerabatnya di Jawa. Ayah memberikan semua sisa uang yang masih kami punya kepada Ibu. Cukup lama hingga akhirnya dia pulang, membangun kembali usahanya yang dengan ajaibnya berhasil dan terus meningkat. Saat itu pun perubahan sikap Ayah terjadi secara perlahan dari waktu ke waktu, hingga berakhir seperti sekarang."

Suara lolongan anjing terdengar sahut menyahut dari luar rumah, usai Santi bercerita.

Wawan beranjak dari tempat tidur dan mendekat ke arah Retno. "Duh, apalagi sekarang, Ret?"

"Aku juga gak tau, Wan!" Retno menutup laptopnya dan berdiri.

Lolongan terdengar makin nyaring dan riuh, memekakkan telinga mereka.

Wajah Santi terlihat ketakutan. "Maaf, aku harus segera pergi. Ingat kesepakatan yang telah kita buat!"

"Tunggu sebentar!" tahan Retno. "Apa yang terjadi?"

"Kalian harus menghadapinya sendiri!"

Santi menghilang begitu saja dari hadapan mereka. Entah apa yang akan terjadi, tetapi Santi sendiri pun takut dan pergi.

Ketukan terdengar dari luar kaca jendela kamar.

"Ret, a-pa itu?"

"Mana kutahu, Wan!"

Makin lama makin kuat bunyi ketukan di jendela tersebut, membuat Retno dan Wawan melangkah mundur, menjauh dari jendela.

Kaca jendela pecah, lampu pun tiba-tiba padam.

"Astagfirullah al'azim!" ucap Retno.

Udara malam menyeruak masuk dari kaca yang pecah, lebih dingin dari biasanya. Lolongan anjing pun menguap begitu saja tanpa tersisa.

"R-Ret, kau ... melihatnya?"

"Apa?"

"Di depan j-jendela!" seru Wawan.

Retno menyipitkan matanya, melihat apa yang Wawan maksud, dan mendapati banyangan sesosok manusia berdiri menatap mereka dari luar jendela.

"Siapa kau?" tanya Retno panik.

Terdengar suara tawa dari bayangan tersebut, tawa yang mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri.

"Pertanyaannya, siapa kalian? Dengan lancangnya ikut campur urusan kami!" seru si bayangan.

"Kami?" gumam Retno. "K-kami hanya ingin mecari tahu cerita soal Santi yang sebenarnya."

"Apa pentingnya bagi kalian? Seharusnya kalian tak ke sini!" bentak sosok tersebut dengan suara yang nyaring.

"Apa yang ... harus kita perbuat sekarang, Ret?" bisik Wawan.

Dia tertawa kembali. "Karena kelancangan kalian, rencana 'kami' akan dipercepat! Seluruh warga di desa ini, harus merasakan akibatnya!"

"A-apa maksudmu?" tanya Retno.

"Kalian akan tahu maksudku segera! Untuk permulaan, pemilik rumah ini yang akan menjadi korban!" seru sosok itu sambil tertawa, lantas menghilang.

Lampu pun menyala kembali seperti sedia kala.

"Apa maksudnya tadi, Ret?" tanya Wawan, dengan keringat dingin di wajahnya.

Retno menelan ludah. "Aku juga tidak tahu!"

Mereka saling tatap, lantas berlari ke luar kamar, tujuan mereka kamar pemilik rumah ini.

Ancaman sosok itu terdengar sangat serius. Retno dan Wawan terlalu takut untuk membayangkan apa yang akan terjadi.

"Assalamu'alaikum, Pak! Pak Abduh! Bisa bicara sebentar?" tanya Retno. Tak ada jawaban yang terdengar.

"Buka saja, Ret!" saran Wawan.

"Tapi kalau kita salah duga bagaimana?"

"Kau masih berpikir sosok itu mempermainkan kita?"

"Kau benar!" seru Retno.

Retno mencoba membuka pintu sesuai saran Wawan, tetapi terkunci, lantas tanpa pikir panjang lagi dia mendobrak pintu beberapa kali hingga berhasil terbuka.

"Ke mana mereka, Ret?" Tak telihat orang yang mereka cari di dalam kamar. "Apa mungkin mereka keluar rumah?"

"Ke mana mereka semalam ini, di desa sepi ini, Wan?" tanya Retno.

"Lalu?" Wawan mengernyitkan dahi.

Retno mencoba mengatur napasnya sejenak. "Sepertinya mereka dibawa oleh sosok tadi!"

"M-maksudmu? Mereka hilang karena dibawa olehnya?"

"Aku tak tahu! Aku tak tahu pasti, Wan! Tetapi ... sepertinya begitu."

"Jadi bagaimana?" tanya Wawan lagi.

Setelah merenung sejenak, Retno berucap, "Aku rasa kita memang harus kembali ke rumah Santi untuk mendapatkan jawabannya!"

Wawan menatap sahabatnya itu. "Kembali ke sana? Kau Yakin?"

"Sangat yakin! Sebelum seluruh warga mengalaminya! Dia bilang keluarga rumah ini hanya permulaan, kan?" ucap Retno.

Kali ini mereka tak bisa pergi meninggalkan desa begitu saja, ada orang-orang yang tak bersalah akan menjadi korban jika mereka tak bergerak.

Bersambung.

Mungkin saya sudah mencapai batasnya, batas di antara kemampuan membagi waktu dan menyeimbangkan otak agar selalu dapat ide mujarab setiap hari. :D

Tulisan yang dipaksakan juga tidak bagus, jadi dengan berat hati saya ingin menyampaikan bahwa cerita ini tak bisa saya update rutin, tetapi update per mingguan, mungkin dua/tiga kali seminggu. Saya harap kalian bisa memaklumi.

Bab ini sudah sesuai dengan plot yang saya inginkan. Selamat membaca. ;)

#BangEn

DESA SETANWhere stories live. Discover now