Sesenta y seis

151 8 0
                                    

Diberitakan oknum dengan inisial H diduga sebagai pelaku dari kasus penculikan dan penyiksaan yang dilakukan kepada anak dari salah satu keluarga pengusaha kaya dengan inisial G. Pelaku ditangkap di jalan xxx saat pelaku berusaha melarikan diri dengan mobilnya. Walaupun begitu polisi berhasil menangkap dan mengepung pelaku H dengan memberikan beberapa tembakan. Dan...

Ray langsung mematikan tv. Menonton tv adalah pilihan yang tidak tepat untuk membuat dirinya menjadi lebih baik. Ray bangkit, lalu memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya. Tidak banyak yang dilakukannya, tidur atau termenung.

Kemarin ia dan kelima orang lainnya kembali datang ke rumah sakit. Seperti biasa mereka akan selalu berakhir di lantai satu duduk di kursi tunggu. Wajah mereka selalu muram dalam keheningan yang terus saja merenggut. Namun kunjungan mereka kemarin itu sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya saat tidak sengaja Zea memanggil Pak Joko ketka pria itu berjalan menuju ke luar rumah sakit. Zea bangkit diikuti dengan kelima laki-laki lainnya.

"Pak Joko," panggil Zea terengah-engah.

Pak Joko memandang keenam remaja itu dalam diam, seolah bertanya-tanya dengan kehadiran mereka.

"Apa anda memiliki kepentingan dengan saya?" tanya pria itu.

Kelima laki-laki itu menatap Zea membiarkan perempuan itu untuk berbicara.

"Kami tidak bisa melihat Kimo."

"Tentu saja tidak bisa."

Zea menelan salivanya, "Apa bapak tahu bagaimana keadaan Kimo sekarang?"

Pak Joko terdiam dan itu memancing kebingungan untuk remaja-remaja itu. Apa kondisi Kimo juga harus dirahasiakan?

"Saya tidak bisa mengatakannya," kata pria tua itu mengundang kekecewaan. "Saya tidak punya hak untuk memberi tahu kondisi majikan saya kepada remaja seperti kalian," katanya lagi.

Zea menunduk, begitu yang lainnya. Berbicara dengan Pak Joko sepertinya juga tidak bisa.

"Yang bisa saya katakan adalah dia sedang tidak baik-baik saja." Kalimat terakhir Pak Joko sebelum ia pergi meninggalkan Zea dan lainnya yang kini merasa lebih suram dari sebelumnya. Kalimat pak Joko tersebut sudah cukup menjelaskan kalau Kimo berada dalam keadaan yang sulit. Dan bisa saja perempuan itu sedang berjuang melawan maut.

Ray menghela napas mengingat percakapan yang sangat tidak mengenakkan tersebut. Ia menutup wajahnya dan berusaha untuk melupakan semuanya untuk sejenak. Akan tetapi ia tidak bisa, karena setiap menutup mata maka wajah perempuan itu selalu terbayang dalam benaknya. Ray merasa sangat tertekan.

***

Sena, Adang, Farel, dan Rafael termenung di rumah Sena. Niatnya mereka ingin ke rumah Sena untuk merelaksasikan pemikiran mereka sejenak, berniat untuk meredakan kejadian yang begitu membayang terlebih dimana mereka melihat semua itu dengan mata kepala mereka sendiri. Bahkan mereka turut di dalamnya merasakan dan berperan.

Sena yang perawakannya menatap layar, tetapi sebenarnya matanya kosong dan hampa. Ia mengerti sekarang apa arti dari trauma. Bahkan ia sangat mengerti bagaimana Kimo menjadi sosok yang begitu keras terlebih perempuan itu juga mengidap PTSD. Sena tidak bisa membayangkan apa jadinya jika dirinya menjadi Kimo, mungkin dirinya akan gila dan hendak bunuh diri saking ketakutannya. Intinya jika Sena menjadi Kimo, ia akan sulit sekali bangkit.

Bagaimana tidak? Kasus seperti ini bukan kasus pertama yang Kimo rasakan. Kenangan-kenangan kelam tentu saja akan membayang dan menghantuinya ketika kembali merasakan hal yang sama. Sena yang justru hanya menjadi sosok membantu dalam figuran ini bahkan terguncang hebat. Ia tidak pernah membayangkan kalau dirinya yang masih kelas tiga SMA ini akan ikut bertarung dalam kasus penculikan kelas kakap. Sangat mengerikan, bahkan Sena berencana untuk tidak terlibat lagi dalam hal-hal itu. Dan Sena yakin mungkin remaja lainnya akan berpikiran sama dengannya.

Sena mungkin termasuk remaja laki-laki yang nakal. Hal paling mengerikan atau yang paling nakal yang telah ia lakukan justru hanya sekedar tauran dan berkelahi. Tetapi untuk menyiksa, menculik, dan membunuh itu merupakan hal yang baru untuk Sena.

"Kimo kuat banget. Gue salut sama dia," celetuk Adang dalam keheningan. "Melihat dia mungkin gue tidak akan terlalu membenci bule, karena bule yang gue kenal adalah bule yang hebat."

Sena hanya tersenyum mendengarkannya.

"Lo lihat kemaren kembaran Kimo? Mirip banget ya ga sih?"

Tidak ada jawaban, mereka hanya mengiyakan dalam hati.

"Apa kalian punya dugaan?"

Rafael menatap Adang serius, "Dugaan tentang?"

"Kondisi Kimo?" Adang bertannya, lalu beralih memandang Farel yang juga sedang menatap dirinya. "Rel, menurut lo gimana?"

"Gue sudah memikirkan hal yang terburuk."

Mereka lagi-lagi terdiam. Kata-kata Farel berhasil membuat suasana yang sedikit cair menjadi tegang lagi dalam kekhawatiran, tetapi mau bagaimana lagi kalau itu fakta yang harus mereka hadapi.

"Gue kira dia dalam keadaan koma sekarang." Farel mengucapkannya dengan nada pelan dan terdapat siratan sedih di sana. "Lo lihat keadaan kakinya? Mungkin aja bisa diamputasi kalau terlambat diobati. Yang gue takutkan adalah, mentalnya. Mungkin kita ga akan menemukan sosok Kimo yang kayak dulu lagi."

Sena, Rafael, dan Adang terdiam. Diam-diam mereka setuju dengan apa yang dikatakan oleh Farel. Suram, satu kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan.

Sebuah telepon berdering. Ternyata milik Farel. Farel berjalan ke arah hp nya, lalu segera mengangkat telepon tersebut.

"Halo?"

"Radit sadar. Radit udah sadar."

***

Farel. Rafael, Sena, dan Adang pergi ke rumah sakit ketika mendengar berita bahwa Radit sudah sadar. Mereka tidak terlalu tergesa-gesa dan tidak pula terlalu melamban, mereka santai karena mereka ke rumah sakit bukan untuk bersukacita akan sudah sadarnya seorang Radit yang mereka tahu sifat buruknya seperti apa, melainkan mereka penasaran dengan apa yang terjadi setelahnya. Radit tidak amnesia, maka akan kecil kemungkinannya jika Radit tidak membahas soal kenapa dia bisa seperti sekarang.

Ternyata di sana sudah ada Zea yang berdiri mematung. Ia melihat ke satu arah yang keempat laki-laki itu tidak yakin melihat kemana. Merekapun sedikit mempercepat langkahnya dan datang mendekati Zea.

"Zea."

Zea menoleh, lalu cepat-cepat mengusap air matanya. Ternyata perempuan itu menangis.

"Lo kenapa?" tanya Rafael.

Zea mengalihkan pandangannya dari Rafael, membuat laki-laki itu mengikuti kemana arah pandangan perempuan itu. Rafael sedikit terperangah ketika melihat pemandangan seorang wanita yang sedang menangis di depan pria yang Rafael yakini adalah ayahnya Kimo. Ayah Kimo ternyata langsung turun tangan karena masalah ini.

Ayah Kimo seperti berbicara menjelaskan dan ketika ia menyelesaikan kalimatnya, wanita itu menangis sekencang-kencangnya. Ia terduduk, lalu menutup mulutnya agar  dapat menahan isakan tangisnya. Ayah Kimo tampat menyesal, lalu kemudian pria itu pergi dari hadapan wanita itu bersama pengawal-pengawal setianya.

"Sudah selesai ya?" tanya Adang.

Sena mengangguk. Sena menoleh ke arah Zea yang air matanya masih mengalir setetes demi setetes. Sena tersenyum, lalu menyentuh pundak perempuan itu untuk menepuknya dua kali. "Masalah lo udah selesai Ze. Lo bisa bebas sekarang."

Zea mengangguk, lalu memaksakan senyumnya.

Tbc. 

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang