Siete

789 58 1
                                    

Bel kembali berbunyi, barulah Kimora kembali ke kelas setelah aksi kaburnya dari Ray. Pandangan Ray mengikuti langkah perempuan itu sampai Kimo duduk di bangkunya.

"Lo kemana Kim? Kenapa ilang tadi?" Ray tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Kimo tidak menjawab, jangankan menjawab, menatap Ray saja dia tidak. Perempuan itu malah mengambil bacaannya dan mulai membaca dengan tenang. Seperti biasa.

"Lo udah makan? Tadi gue bawain bekal lo tapi lo nya gak ada. Bekal lo masih penuh."

"Bukan urusan lo," jawab Kimo dengan datar berhasil membuat Ray terdiam. Baru beberapa menit tadi dia sudah merasa dekat dengan teman sebangkunya dan sekarang secepat menit itu berlalu, begitu pula dengan kedekatan mereka. Berlalu, seperti angin lewat. Dan mungkin tidak penting.

Memang tidak penting.

Ray pikir, mungkin dia terlalu mencampuri urusan Kimo. Akhirnya laki-laki itu mengalihkan pandangannya dan ikut berfokus dengan apapun yang bisa ia kerjakan.

***

Zea, entah apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan itu sekarang, dia malah pergi sendirian dari kelas dan berjalan di koridor sekolah yang lengang. Arah yang ia tuju pun bukan tempat yang lazim untuk dikunjungi siswa. Perempuan itu pergi ke gudang, entah apa tujuannya.

Perempuan itu berhenti di depan gudang sekolah yang terlihat sangat berdebu. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah mencari seseorang. Hingga ia dikejutkan oleh kehadiran laki-laki dengan perawakan tinggi berada di belakangnya.

"Radit," panggil Zea nyaris seperti berbisik.

Laki-laki itu tersenyum miring, kemudian berjalan maju seolah hendak menutupi jarak antara dirinya dan Zea. Otomatis Zea berjalan mundur hingga ia terhenti karena punggungnya sudah menabrak dinding.

"Radit, gue udah bawa uangnya sesuai yang lo minta. Tapi gue mohon, jangan sebarin foto itu," pinta Zea tidak berani mendongakkan kepalanya karena kemungkinan besar jaraknya sudah ditelan habis oleh Radit.

"Dua puluh lima juta? Lo serius?" Laki-laki itu bertanya dengan nada menggoda. Semakin lama, laki-laki itu semakin mendekatkan tubuhnya dengan Zea sampai beberapa detik lagi mungkin tubuh keduanya akan menempel seperti dua kertas yang dihimpit.

Zea memejamkan matanya, berusaha menahan isak tangisnya. Ia mencengkram amplop yang berisi uang yang diminta oleh laki-laki itu saking takutnya. Sedikit lagi dan mungkin akan terjadi hal yang tidak-tidak.

Zea pun mulai membela dirinya sebagai seorang perempuan. Perempuan itu langsung mendorong Radit dengan kedua tangannya hingga membuat laki-laki itu sedikit terjungkal ke belakang.

"Wow, kenapa Ze? Lo gak menyukai permainan gue?" tanya laki-laki itu masih sempatnya menunjukkan seringainya.

"Gue udah bawa uang yang lo minta, dua puluh lima juta. Sekarang tolong hapus foto Zia." Bergetar tubuhnya karena perempuan itu benar-benar ketakutan.

"Gue gak mau."

Zea tertegun mendengarnya.

Dengan santai laki-laki itu bersandar pada tiang yang ada di belakangnya. "Gue gak mau karena semua itu belum cukup."

"Tapi kita punya kesepakatannya!" Zea tidak bisa seperti ini. Ia lepas kendali, ia sudah berani menghardik Radit. Radit tidak akan menyukainya.

"Kesepakatan? Gue gak ingat sama kesepakatan itu. Yang gue ingat cuma lo."

"Maksud lo?"

Radit tidak menjelaskan lebih lanjut apa maksud dari kalimatnya barusan dan malah menatap Zea dengan tatapan lapar. "Kenapa lo bela-belain untuk menyelamatkan saudari lo itu? Sedangkan dia aja gak peduli sama lo."

"Itu bukan urusan lo. Gue minta hapus foto itu Dit. Gue gak mau Zia kenapa-kenapa," ungkap Zea tidak tahan lagi. Berbicara dengan laki-laki ini semakin lama semakin bertele-tele saja. Tidak ada gunanya.

Radit menaikkan sebelah alisnya. "Oke, siniin dong uangnya." Radit menengadahkan tangannya menunggu amplop itu berpindah dari tangan Zea ke tangannya. Zea berjalan mendekati Radit dengan ragu-ragu.

Tepat saat amplop itu menyentuh tangan Radit, tiba-tiba laki-laki itu mendorongnya hingga ke dinding. Wajah laki-laki itu seolah mencari-cari bibir Zea, tapi Zea dengan berusaha keras untuk menghindar. Tidak hanya itu, tangannya sudah bergerak kemana, mencari celah agar dia bisa kabur.

"Apa yang lo lakuin Radit?!" tanya Zea dengan histeris.

Radit menghentikan perlakuannya sejenak, kemudian menjawab, "Do something fun." laki-laki itu menyeringai lebih lebar lagi. "Di sini tidak menyenangkan. Gudang?"

Zea menggelengkan kepalanya kuat-kuat diiringi dengan tangisan Zea. Tapi itu tidak cukup membuat Radit merasa kasihan. Laki-laki itu malah terlihat senang dengan apa yang dilihatnya.

"Ide bagus." Seketika Radit langsung menarik Zea dengan paksa ke dalam gudang, tidak peduli bahwa perempuan itu sudah berteriak histeris meminta tolong. Dengan mudah, Radit menarik tangan Zea hingga keduanya menghilang karena sudah masuk ke dalam gudang.

***

"Zearas Raura Fakrani?" panggil guru saat pengambilan absen. Untuk ketiga kalinya di pergantian jam pelajaran, perempuan bernama Zea itu tidak menyahut karena memang tidak ditemukannya kehadirannya di kelas ini.

Kimo menoleh ke arah bangku kosong yang diduduki oleh Zea. Ia merasa sedikit aneh dengan kehilangannya perempuan itu. Ini sudah tiga kali pertukaran jam pelajaran. Satu mata pelajaran sudah 2 jam dan kalau tiga mata pelajaran berarti Zea sudah menghilang selama 6 jam.

Pertanyaan Kimo akhirnya terjawab setelah bel pulang berbunyi. Ketika semua teman kelasnya sudah pergi untuk pulang, meninggalkan dirinya sendirian di sana karena ingin mencatat ketertinggalannya, Zea masuk ke dalam kelas dengan kepala tertunduk.

Perempuan itu berantakan. Bajunya kusut dan rambutnya apa lagi. Kacau, seperti baru saja diterjang angin puting beliung. Mata perempuan itu bengkak, terlihat jelas bekas ia menangis.

"Zea," panggil Kimo dengan datar, seperti biasanya.

Zea menoleh dengan takut-takut dan terkejut saat menyadari kehadiran Kimo. Perempuan itu cepat-cepat memalingkan wajahnya, lalu segera membereskan barang-barangnya.

Kimo menatap Zea dalam diam. Sementara itu, Kimo menyelidik perempuan itu dengan mata tajamnya. Dengan sedikit lancang, Kimo menghentikan pergerakan tangan Zea dan membalikkan tubuh perempuan itu seenaknya agar perempuan itu menghadapnya.

Kimo mengulurkan tangannya, memeriksa sesuatu yang ada di balik kerah baju Zea. Merah, seperti luka. Kemudian Kimo menatap perempuan itu dengan tajam.

"Siapa?" tanyanya dengan dingin. Zea semakin menundukkan kepalanya, tak lama terdengar lagi isakan tangis dari perempuan itu. Zea tidak berani menjawab.

Tidak perlu bertanya, Kimo sudah tahu apa yang terjadi dengan Zea. Tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun dan dikelilingi dengan lingkungan pergaulan bebas, cukup membuat Kimo paham dengan apa saja yang terjadi.

"Zea jawab gue. Siapa?"

Perempuan itu sesenggukan, tapi tetap menjawab, "Ra-Radit."

Dan Kimo langsung pergi begitu saja, meninggalkan kelas tanpa sepatah kata perpisahan.

Tbc.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang