17

5.3K 558 84
                                    

Selayaknya daun kering yang terlepas dari ranting pohon. Telah layu dan rapuh sebab tak lagi punya kekuatan untuk menompang diri dari tiupan ganas angin.

Pun selayaknya bunga mekar yang telah usai masa cantiknya, berguguran terhempas ketanah, keindahannya sirna sebab kekuatannya hilang. Yang telah layu dan rapuh tak mungkin lagi mampu melarikan diri. Yang ada hanyalah harus menyiapkan diri menjadi abu sebab kerap kali terlindas manusia yang berlalu lalang.

Jeon Jungkook berpikir mungkin ia akan berakhir seperti mereka. Harapan semu yang tidak menjamin bahagia. Tak lagi menjadi penunjang kekuatannya disaat takdir mencabik-cabik habis dirinya tanpa ampun.

Ingin marah namun tidak tahu harus melampiaskan pada siapa. Tidak ada yang bisa disalahkan, barangkali berteriak mampu memberi ketenangan atas segala kesakitan yang dideritanya, ataupun angin memberi penghiburan berupa harapan akan ada pelangi dimasa depan.

Namun alih alih terukir sedikit bayangan, hanya udara hampa yang ia dapatkan.

Usai dari Rumah Sakit, ia berakhir disini. Sempat terjadi adu mulut dengan Yugyeom yang memaksa ingin mengantar sampai ke rumah namun ia menolak dan berakhir Yugyeom mengalah. Walau terkesan tidak rela namun Yugyeom tetap membiarkannya. mungkin Jungkook juga butuh waktu sendiri, begitu pikirnya.

Pandangannya kosong melompong setibanya ia didepan sebuah gedung yang benar-benar beraura duka dan lara.

Dengan berbalut baju tipis kusamnya dan tangan membawa satu kuntum bunga mawar kuning, Jungkook berjalan pelan memasuki bangunan tempat ratusan Guci berisi abu orang-orang yang telah berpulang kerumah Tuhan.

Ah, mungkin ia akan segera menjadi salah satu penghuni dibangunan dingin ini.

Kakinya berhenti pada sebuah laci berlapis kaca yang bertuliskan nama seseorang yang selalu menjadi sandaran dulu, menemaninya dalam kelaraan, yang menghiburnya dalam kesedihan orang yang menjadi paling berarti dalam hidupnya setelah sang Mama, dia bibi Jeon 'Jeon Sorim'.

"Annyeong oraenmaniya, Eomma." Meletakkan setangkai mawar kuning tersebut pada bingkai berisi foto sang bibi bersama dirinya.

Menyematkan senyum kaku sejenak lalu kembali melanjutkan."Dulu, bibi pasti akan mencubitku bila aku mencoba memanggilmu eomma. Bibi pasti akan mengatakan kalau panggilan itu akan menyakiti hati Mama, sebab dahulu mama begitu ingin mendengarkan suaraku memanggilnya."

Ia menundukkan kepala lalu melanjutkan "Padahal, aku sangat ingin sekali memanggilmu eomma saat itu bahkan hingga sekarang ini. Bibi harus tau kalau mama tidak akan iri dan tidak akan pernah marah." ia terkekeh sendiri dengan ucapannya, matanya sudah kepalang basah sebab bila dihadapan wanita yang selalu dianggapnya malaikat inilah ia mananggalkan topengnya.

"Ha-llo bibi, Jungkookie ingin bertanya, apa benar disana lebih indah dan nyaman daripada dibumi ini? Bibi, aku pastikan sebentar lagi aku akan menemuimu, kuharap Tuhan mengizinkan, tolong doakan, ya." Katanya dengan nada yang dibuat seriang mungkin, meski masih samar terdengar bergetar dan air mata yang kian berlomba-lomba meluncur dari mata indahnya.

"Bibi tidak ingin melihat anak kelincimu ini , eoh? Sekarang aku tumbuh jauh lebih dewasa." Menghela nafas sejenak untuk menetralisir sesak didada. "Ahh, tentu saja ingin bukan? Tunggu sebentar lagi ya."

"Bi, ternyata anak yang kamu anggap super hero ini juga manusia, bahkan hanya mendengar kabar ia tak akan hidup lama lagi, ia langsung patah. Bi, ak- aku-hiks." Rasanya ia sudah tak mampu lagi untuk berbicara ketika dadanya seolah terlilit dengan tali tambang. Rasanya sesak sekali.

"Bi, ak-aku ha-harus bagaimana? Mereka masih membenciku, sementara waktuku tidak lama lagi di Dunia ini? Bibi, apa aku bisa? Apa anak bodoh ini benar benar tidak layak mendapat maaf dari mereka? sebegitu fatalkah kesalahanku, uhm? BIBI JAWAB AKUU!" Jungkook meluruh dengan isakan tangisnya pecah. Matanya memejam menahan nyeri didada.

THE HOPE (✓)Where stories live. Discover now